Kenalan dengan Homeeducation

Oktober 23, 2017


Bismillah izin sharing. Saya mengenal homeschooling saat anak sulung saya, Faris masih berusia 14 bulan. Jauh sebelum mengenal homeschooling saya terlebih dahulu mengenal metode belajar montessori, itu salah satu hal yang mempengaruhi keputusan saya untuk menunda sekolah Faris, yaitu tidak masuk preschool dan TK.
Saat itu saya mencari ide kegiatan dan tahapan bermain bersama anak sesuai usianya. Saya ngeblank sekali, alhamdulillah akhirnya bertemu dengan komunitas IMC. Jd tahap awal homeeducation anak batita saya mulai dengan mengikuti tahapan sensory play metode montessori kemudian setelah ank berusia 2 tahun dan paham instruksi saya mulai mengikuti materi hs dr sabumi hs. Catatan harian progresive anak kala itu belum terlalu terstruktur hanya beberapa yang penting bisa terdokumentasi. Saat ini ank sy 3th dan sy mulai smakin serius dg mulai membuat portofolio anak dalam bentuk lapbook. Untuk materi belajar sy mix dr grup hsmn dan kejutan karena stiap hari pasti ada saja objek pengamatan anak-anak.
Saya pribadi setuju dengan pendapat bahwa meski banyak preschool dan TK yang keliatannya santai, “tidak berat”, dan hanya “main-main” saja, tapi tidak punyaotoritas yang lebih tinggi” di usia dini untuk mendikte Faris melakukan sesuatu itu cukup penting sebagai pondasi menumbuhkan rasa percaya diri (self-confidencedan membentuk paradigma (mindset) baik ke kami, orangtuanya, maupun ke dirinya sendiri, bahwa dia, bisa belajar otodidak tentang apapun sejak dini. Saya sangat berharap dengan belajar di rumah buah pemikirannya dan  kreatifitasnya tidak dipatahkan oleh orang lain.
Perkenalan dengan homeeducation based on fitrah juga mengajari saya bahwa yang terpenting di usia dini justru menumbuhkan rasa nyaman dan betah tinggal dirumah(dengan tidak keluar rumah terlalu dini) dan memberi kesempatan lebih panjang untuk saling mengenal (get connected) dengan anggota keluarga sendiri. Saya mempercayai pendapat yang bilang, setelah itu, kebutuhan ke luar rumah akan tumbuh secara alami dan dengan sendirinya, datang dari anak itu sendiri, dimana kapan kebutuhan tersebut muncul, akan bervariasi tiap anak.
Keputusan ini ternyata merupakan keputusan berharga, karena saya menjadi “saksi mata” bagaimana Faris mampu “mengupgrade” diri tanpa ada “yang mengajari”. Saya ingin melihat kemampuan anak untuk self-taught (mengajari diri sendiri) dan self-learning dengan minimal intervensi. Dimulai dari bisa meronce demi membuatkan gelang untuk mamanya dengan sendirinya di usia 2 tahun (padahal saya berencana baru akan mengajar meronce detil di usia 3tahun), hingga detik ini Faris terus membuktikan diri bahwa anak-anak bukanlah wadah kosong yang perlu diisi, tapi lebih mirip dibilang seperti spons yang menyerap sekelilingnya secara alami tanpa perlu “susah payah”.
Rupanya “minimal intervensi” dari saya sebagai orangtua, menumbuhkan rasa gelisah dan galau, karena merasa “tidak ngapa-ngapain”, meski sudah jelas catatan belajar (portofolio) Faris sudah membuktikan bahwa dirinya terus belajar tanpa ada halangan, dan kemampuannya terus keliatan berkembang.
Paradigma kalau Anak tidak keliatan “terpaksa” dan “stress” berarti tidak belajar, ternyata tetap menghantui. Paradigma kalau “guru” (dalam hal ini orangtua) harus melakukan persiapan belajar seperti lesson plan, materi belajar, kurikulum, dan jadwal belajar, supaya keliatan “serius mengajar”, terus membayangi. Terutama kalau ada teman, keluarga, dan pihak luar mulai bertanya-tanya (beneran ingin tahu karena tertarik, bukan sekedar nanya), tentang jadwal belajar anak-anak homeschool.
Saat ini saya dan suami sedang membentuk lingkungan rumah yang menarik untuk di eksplorasi. Semua kembali kepada visi misi masing-masing keluarga.  Ada satu keluarga yang membangun perpustakaan keluarga dan memenuhi dengan koleksi-koleksi menarik, sementara yang lain akan merasa cukup dengan googling di internet. Satu keluarga memutuskan mematikan TV, sementara keluarga lain berlangganan TV kabel sebagai investasi. Satu keluarga memutuskan menggunakan gadget seperti komputer, iPad, playstation, dan lain sebagainya sebagai bagian dari keseharian belajar, sedangkan keluarga lain memutuskan untuk menunda mengenalkan anak ke gadget sampe waktu tertentu. Menghindari praktik-praktik yang akan membuat anak jadi enggan membaca. Dilibatkan dalam urusan rumah tangga (household chores) sebagai bagian dari lifeskill, seperti memasak, membersihkan rumah, dan lain sebagainya. Merencanakan kegiatan keluarga bersama dan field trip secara reguler sebagai bagian dari keseharian belajar. Terlibat dalam kegiatan di lingkungan rumah, sebagai bagian dari volunteering/kerja sosial. Mendaftar ke kursus/les yang berhubungan dengan hobi dan kesukaan anak. Merencanakan play dates (kencan bermain) dengan sesama homeschooler. Happy homeschooling!! ^_^

You Might Also Like

0 komentar