ANALISIS RANCANGAN UNDANG-UNDANG HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN

Oktober 19, 2012



 
Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia di dunia manapun. Begitu pentingnya perkawinan tidak mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur masalah perkawinan bahkan tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya. Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pengaturan masalah perkawinan di dunia tidak menunjukkan adanya keseragaman, keberbedaan itu tidak hanya antara satu agama dengan agama yang lain, satu adat masyarakat dengan adat masyarakat yang lain, satu negara dengan negara yang lain, bahkan dalam satu agamapun dapat terjadi perbedaan pengaturan perkawinan disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda.
Di Indonesia misalnya persoalan perkawinan di samping dapat dijumpai dalam khazanah kitab-kitab fiqh juga telah diatur dalam perundang-undang perkawinan di Indonesia yaitu Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974[1] dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia[2].
Belakangan muncul Rancangan Undang-undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang dimaksudkan untuk mengatur perkawinan di Indonesia untuk pemeluk Agama Islam sebagai salah satu kewenangan Peradilan Agama di Indonesia.
Menarik untuk dicermati di sini adalah bahwa salah satu persoalan perkawinan yang muncul di Indonesia yang mendapatkan sorotan cukup tajam dari masyarakat kaitannya dengan pengaturannya dalam perundang-undang perkawinan di Indonesia adalah persoalan pernikahan sirri. Di satu sisi pernikahan sirri sebagaimana dalam pengertiannya di Indonesia adalah sah dalam pandangan kitab-kitab fiqh yang selama ini menjadi pegangan mayoritas umat Islam di Indonesia dan di sisi lain negara melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengakui pernikahan tersebut karena tidak dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku[3], pernikahan yang demikian itu tidak memiliki kekuatan hukum di Indonesia[4] bahkan pernikahan tersebut dianggap sebagai sebuah tindak pidana yang diancam dengan hukuman denda[5]. Bahkan Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan (RUU HMPA bidang Perkawinan) memberikan ancaman hukuman denda maksimal sebesar 3 juta atau kurungan 3 bulan.[6]
Inilah yang menjadi akar persoalan polemik pernikahan sirri di Indonesia antara pengaturannya dalam kitab-kitab fiqh dan pengaturannya dalam perundang-undangan di Indonesia yang nampak ada perbedaan. Dan dengan munculnya Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan yang menganggap pernikahan sirri sebagai sebuah tindak pidana dengan ancaman hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau denda 3 juta akan semakin menyebabkan persoalan pernikahan sirri hangat untuk didiskusikan.
Pengertian nikah sirri yang berkembang di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya, yaitu pernikahan yang dilaksanakan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan yang terdapat dalam syariat Islam, tetapi tanpa melalui Pegawai Pencatat Nikah sehingga pernikahan tersebut tidak dicatat dalam Akta Perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, pernikahan sirri adalah pernikahan yang dilaksanakan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan yang terdapat dalam syariat Islam, tanpa dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah sehingga pernikahan tersebut tidak memiliki bukti otentik Akta Perkawinan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku.
A. Tindak Pidana Pernikahan Sirri dalam Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia
Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 yang secara efektif berlaku mulai tanggal 1 April 1975 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.[7] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara langsung persoalan pernikahan sirri, hanya mewajibkan pencatatan pernikahan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 disebutkan: “(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pada ayat tersebut tidak dicantumkan tujuan diadakannya pencatatan, tujuan pencatatan secara tersirat dapat dilacak pada penjelasan umum Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dengan surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Dalam HIR pasal 1863 dinyatakan bahwa catatan atau bukti tertulis termasuk alat bukti yang diakui kesahannya, tidak hanya dalam akad nikah tapi juga dalam segala bentuk perikatan. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pencatatan itu adalah agar terdapat ketertiban dan kejelasan dalam perkawinan. Dalam Pasal 5 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam disebutkan: “(2) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.” Adapun mengenai pernikahan yang tidak dicatatkan atau pernikahan sirri dalam Bab IX pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, mendapat hukuman setinggi-tingginya Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Bab IX pasal 45 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 berbunyi: “ (1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
(1)     a. Barang siapa yang melanggar ketentuan pasal 3,10 ayat (3), 40 peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
b. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan pasal 6,7,8,9,10 ayat (1), 11,13,44 peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selam-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2)     Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) diatas merupakan pelanggaran.”
B. Tindak Pidana Pernikahan Sirri Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum  Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU HMPA Bidang Perkawinan)
Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan merupakan sebuah upaya untuk mewujudkan hukum materiil bidang perkawinan yang nantinya dapat menggantikan kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disebarluaskan dengan menggunakan Instruksi Presiden (Inpres)[8]. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Inpres tidak masuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sehingga secara yuridis KHI tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat seluruh warga negara.
Tujuan pembentukan Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan adalah untuk menciptakan kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait dengan masalah perkawinan dan keluarga. Selain itu juga dimaksudkan untuk melengkapi dan mengisi berbagai kekosongan hukum (rechtvacuum) yang ada dalam undang-undang perkawinan yang ada. Kehadiran RUU HMPA Bidang Perkawinan merupakan komplementer terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Tujuan lain adalah untuk memenuhi kebutuhan praktis badan peradilan agama yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa perkawinan. RUU HMPA Bidang Perkawinan nantinya akan menjadi pedoman dan mengikat para hakim sebagai dasar pertimbangan hukum dalam mengadili sengketa. Kehadiran RUU HMPA Bidang Perkawinan yang nantinya menjadi Undang-Undang juga dapat menghilangkan keraguan sebagian orang karena hukum perkawinan tersebut sudah termasuk dalam subsistem hukum nasional.
Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan terdiri dari XXIII Bab dan 150 Pasal. Secara garis besarnya isi Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan adalah sebagai berikut :
Bab I : Ketentuan Umum (pasal 1);
Bab II : Dasar-dasar Perkawinan (pasal 2-9);
Bab III: Peminangan (pasal 10-12);
Bab IV: Rukun dan Syarat Perkawinan (pasal 13-26);
Bab V: Mahar (pasal 27-30);
Bab VI: Larangan Perkawinan (pasal 31-38);
Bab VII: Taklik Talak dan Perjanjian Perkawinan (pasal 39-45);
Bab VIII: Perkawinan Wanita Hamil (pasal 46);
Bab IX: Beristri Lebih dari Satu Orang (pasal 47-51);
Bab X: Pencegahan Perkawinan (pasal 52-61);
Bab XI: Batalnya Perkawinan (pasal 62-68);
Bab XII: Hak dan Kewajiban Suami Istri (pasal 69-75);
Bab XIII: Harta Kekayaan dalam Perkawinan (pasal 77-88);
Bab XIV: Kedudukan Anak (pasal 89-94); Bab XV: Pemeliharaan Anak (pasal 95-97);
Bab XVI: Perwalian (pasal 98-103);
Bab XVII: Putusnya Perkawinan (pasal 104-122);
Bab XVIII: Akibat Putusnya Perkawinan (pasal 123-131);
Bab XIX: Rujuk (pasal 132-135);
Bab XX: Perkawinan Campuran (pasal 136-139);
Bab XXI: Ketentuan Pidana (pasal 140-146);
Bab XXII: Ketentuan Lain (pasal 147-148); dan
Bab XXIII: Ketentuan Penutup (pasal 149-150).
Pada Bab XXI yang berisikan ketentuan pidana pasal 140 disebutkan: “Setiap orang yang melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 3 (tiga) bulan.” Pasal  tersebut secara tegas menyatakan bahwa orang yang melakukan pernikahan secara sembunyi-sembunyi tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah (nikah sirri) mendapat ancaman pidana maksimal Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 3 (tiga bulan). Dengan demikian maka pernikahan sirri dapat dikategorikan sebagai sebuah tindak pidana yaitu tindak pidana pelanggaran. Dalam pasal 146 disebutkan: “ Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, dan Pasal 143 merupakan tindak pidana pelanggaran, dan tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 144 dan Pasal 145 adalah tindak pidana kejahatan.”
Pada bagian ini akan penulis paparkan pandangan penulis terhadap tindak pidana sirri dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yakni sebagai berikut
Penulis setuju nikah sirri dijadikan sebagai tindak  pidana yang mendapat ancaman hukuman oleh Negara, dengan alasan:
1.      Harus ada maslahah ‘ammah (kemaslahatan umum) sebab dengan adanya nikah sirri tanpa dicatat oleh Negara mungkin dapat menimbulkan tidak adanya tanggungjawab dari  pihak suami, isteri menuntut tidak bisa, tidak dapat mendapatkan warisan karena tidak ada bukti otentik berupa Akta Nikah.
-Jika dengan nikah sirri menyebabkan pelakunya dihukum maka nikah sirri dapat menjadi haram sebab dapat mengakibatkan kemadharatan/bahaya bagi pelakunya. Mengenai besar kecilnya hukuman ataupun lamanya hukuman diserahkan sepenuhnya kepada Negara dengan mempertimbangkan maslahah ‘ammah dengan melihat jumlah yang bisa menjadikan jera pelakunya, tindak pidana pernikahan sirri masuk pada kategori jarimah ta’zir.
2.      Pernikahan sirri dapat mengurangi tindakan kekerasan baik suami kepada keluarga, dijadikannya nikah sirri sebagai tindak pidana pelanggaran dapat merealisasikan maslahah mursalah dan dapat mendorong terwujudnya keluarga yang solid.
3.      Karena kita hidup dalam negara hukum maka ketentuan mengenai perkawinan juga harus diatur dalam suatu peraturan perundang-undngan yang bisa memberikan kepastian hukum.
4.      Untuk menghindari adanya peremehan terhadap pencatatan oleh Negara (hukum Negara) dalam melaksanakan kehidupan berkeluarga sebab hal ini dapat berpengaruh kepada anak dan harta peninggalan.
5.      Hal ini merupakan bentuk penertiban dalam tatanan kemasyarakatan sebab jika tidak ditata akan terjadi penyelewengan-penyelewengan terhadap pernikahan, ketertiban itu penting dalam suatu keluarga.


Dari kesimpulan analisis di atas, penulis mengusulkan kiranya dalam Draf RUU Hukum Materiil kelak disahkan sehingga memberikan pembaruan hukum perkawinan di Indonesia. Agar menjadi pedoman Hakim khususnya dan masyarakat pencari keadilan pada umumnya.
Kiranya dalam penulisan diatas, masih banyak kekurangan dan kekeliruan, karena keterbatasan pengetahuan dari penulis.


                         



[1] Undang-undang ini merupakan undang-undang pertama yang mencakup seluruh unsur-unsur dalam perkawinan dan perceraian
[2] KHI memuat tiga buku yaitu buku I Hukum Perkawinan (Pasal 1-170), Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214), Buku III Hukum Perwakafan (Pasal 215-229)
[3] Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2
[4] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia pasal 6 ayat 2
[5] Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 45 memberikan denda maksimal Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah)
[6] Pasal 140 Draft Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan.
[7] Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 49 Ayat 1 dan  2
[8] Kompilasi Hukum Islam (KHI) disahkan melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991

You Might Also Like

0 komentar