PTUN

April 05, 2009

PERUBAHAN DISERTAI ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004

Analisis pasal 2: Bahwa pada Pasal 2 huruf (f) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 segala Keputusan Tata Usaha Negara, terdapat klausa untuk segala tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak dapat menjadi kompetensi Peradilan TUN berubah menjadi segala Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia tidak dapat menjadi kompetensi Peradilan TUN pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Hal ini disebabkan adanya perkembangan nama setelah bergulirnya reformasi 1998, maka sesuai keputusan pimpinan ABRI yang memutuskan mulai 1 April 1999 adanya pemisahan POLRI dari ABRI dan ABRI menjadi TNI. Sedangkan pada Pasal 2 huruf (g) bahwa PTUN tidak memiliki kompetensi terhadap segala keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.

Analisis pasal 4: Bahwa pada Pasal 2 huruf (f) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 segala Keputusan Tata Usaha Negara, PTUN sebagai pelaksana sedangkan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, PTUN sebagai pelaku. Pada bagian penjelasan pasal ini pada undang-undang yang baru tidak ada perubahan. Perbaikan pada pasal ini sebenarnya hanya ingin menyesuaikan dengan konstitusi sebagai nyawa bagi setiap undang-undang. Dapat disimpulkan bahwa setiap peradilan di bawah ruang lingkup MA adalah pelaku dan bukanlah pelaksana kekuasaan kehakiman.

Analisis pasal 6: Bahwa pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak ada perbedaan mencolok dan hanya menganti kotamadya yang sekarang berubah namanya menjadi kota yang mulai diperkenalkan pada Undang-Undang Otonomi Daerah. Namun secara konsep bahwa PTUN berada pada setiap kotamadya dan kabupaten maka diperlukan biaya yang sangat besar atas pengadaan fasilitas PTUN pada setiap kabupaten dan kotamadya. Pada ayat (2) pasal yang sama menyebutkan kata propinsi menjadi provinsi. Analisis terhadap pasal ini bukanlah analisis yang menekankan hukum, karena pada ayat (2) ini hanyalah bertujuan untuk memperbaiki undang-undang secara gramatikal mengikuti suatu panduan gramatikal mengnai kebakuan suatu kata sebagaimana diatur dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (selanjutnya disingkat PUEBI), yakni dengan menggunakan provinsi dan bukanlah propinsi.

Analisis pasal 7: Bahwa pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 wewenang dari Mahkamah Agung terbatas mengenai pembinaan teknis peradilan, sedangkan pembinaan organisasi serta keuangan yang berada ditangan Departemen Kehakiman. Dalam hal ini pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 mengatur secara tegas bahwa Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan teknis peradilan,organisasi, administrasi, dan finansial Pengadilan.

Analisis pasal 9: Bahwa pasal sisipan ini pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah tidak lain dan tidak bukan adalah dengan adanya ketentuan yang menyebutkan bahwa kedudukan dan peranan Mahkamah Agung adalah pengadilan Tertinggi dari semua lingkungan Peradilan dan prinsip yang dianut bahwa peradilan adalah peradilan sederhana, cepat, tepat, adil dan biaya ringan merupakan upaya dalam mewujudkan sistem peradilan yang lebih efektif dan efisien dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman di negara hukum Republik Indonesia. Sedangkan sesuai Pasal 9A Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang amandemen Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara di jelaskan bahwa: Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan Undang-Undang. Kemudian dalam penjelasannya dikatakan bahwa: Yang dimaksud dengan “Pengkhususan” adalah deferensiasi atau spesialisasi di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak”.Atas kuasa tersebut eksistensi Pengadilan Pajak sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak tetap diterima keberadaannya dalam system Peradilan di Indonesia. Pengadilan Pajak adalah badan peradilan karena memenuhi ciri-ciri peradilan pada umumnya, dan sesuai dengan Pasal 9 A Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, tentang Amandemen Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara dan penjelasannya.

Analisis pasal 12: Bahwa pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya menyebutkan adanya kata hakim sedangkan pada pasal 12 yang sama yakni pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah Hakim Pengadilan. Bahwa secara kasat mata memang seolah tidak ada perbedaan antara hakim dan hakim pengadilan. Hal ini seolah hanya penambahan keterangan bahwa hakim di sini dimaksudkan adala Hakim dalam pengadilan Tata Usaha Negara baik di tingkat pertama maupun di tingkat banding yakni di PTTUN.

Analisis pasal 13: Bahwa pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menghilangkan unsur hakim sebagai pegawai negeri bukan berarti semenjak disahkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 maka hakim PTUN bukan lagi adalah pegawai negeri. Sedangkan untuk kewenangan Mahkamah Agung yang tadinya berada dibahwa Menteri Kehakiman sama dengan pembahasan teori satu atap yang pernah dikemukakan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.

Analisis pasal 14: Sebelum menjadi Hakim PTUN, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 memperkenalkan calon hakim (Cakim PTUN) yang berbeda dengan makna calon hakim pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Perbedaannya calon hakim pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah bukan sebuah jabatan hanya merupakan orang yang ingin memenuhi prasyarat yang ditentukan.Namun dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 mengisyaratkan Calon Hakim adalah jabatan Cakim sebelum menjadi Hakim PTUN. Ini dibuktikan dalam pasal (2) yakni untuk dapat diangkat menjadi Hakim, harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim,berarti Calon Hakim adalah jabatan karena ia sudah dianggap sebagai pegawai negeri.

Analisis pasal 15: Bahwa pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tidak ada persoalan mendasar atas perubahan pada pasal 15 ini. Perbedaannya hanya berkisar pada pengalaman yang harus dibutuhkan untuk menjadi hakim PTTUN.

Analisis pasal 16: Dengan adanya UU no.9 tahun 2004, maka mengenai pengangkatan dan diberhentikannya hakim dialihkan dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ke Mahkamah Agung, oleh karena itu Hakim Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung sebagaimana yang dijelaskan pada Pasl 16 ayat (1) UU no.9 tahun 2004. Hal pengaturan pada Pasal (1) diberlakukan juga pada ayat (2), sehingga Kekuasaan Kehakiman dianggap sebagai peraturan pelaksanaan yang sesuai dengan perkembangan saat ini.

Analisis pasal 17: Perubahan dalam Pasal ini hanya terdapat pada disebutkannya sumpah atau janji. Pada Ayat (1) UU no. 5 tahun 1986, sedangkan Pada Pasal 17 ayat (1) hanya menjelaskan tentang kewajiban Hakim untuk mengucapkan janji atau sumpah sebelum memangku jabatannya sebagai Hakim. Mengenai substansi isi dari sumpah atau janji, pembedaannya dijelaskan pada Pasal 17 ayat (2) UU No.9 tahun 2004, sedangkan pada Pasal 17 ayat (1) UU No.5 tahun 1986 isi sumpah atau janji tidak dibedakan.

Analisis pasal 18: Mengenai perubahan kata Penasehat hukum menjadi advokat, hal tersebut dikarenakan pada saat diberlakukannya UU No.5 tahun 1986, di Indonesia belum dikenalnya UU tentang advokat sehingga yang digunakan yaitu dengan istilah penasehat hukum. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, pada tahun 2003 muncul undang-undang mengenai advokat,maka istilah penasihat hukum ini diganti menjadi advokat.

Analisis pasal 19: Pada pasal ini ada sedikit perubahan yaitu mengenai istilah “Hakim” menjadi “Hakim Pengadilan”. Awalnya istilah Hakim berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi mempunyai arti yaitu hakim yang berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Namun dengan adanya pendapat para ahli hukum maka pengertian Hakim diubah menjadi Hakim Pengadilan yang artinya hakim tersebut hanya hakim yang ada di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, tidak termasuk hakim agung.

Analisis pasal 20: Perubahan pertama yaitu mengenai perubahan kata “Hakim” menjadi “Hakim Pengadilan”,hal ini sama dengan pasal 19 UU no. 5 tahun 1986 jo. UU No.9 tahun 2004. Perubahan kedua yaitu penetapan terhadap pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri.

Analisis pasal 22: Pada perubahan ayat (1) disebabkan pada adanya kekuasaan eksekutif yang dalam hal ini Menteri Kehakiman, hal ini berhubungan dengan peradilan satu atap terhadap Mahkamah Agung. Satu atap menimbulkan konsekuensi cakupan pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman. MA dan badan peradilan di bawahnya adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, selain Mahkamah Konstitusi, dalam menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 22 UU No.5 tahun 1986 hanya memuat 2 ayat saja, sedangkan pada UU no.9 tahun 2004 memuat 3 ayat yang menjelaskan bahwa pemberhentian sementara hakim berlaku paling lama 6 bulan. Hal tersebut dikarenakan karena untuk menjamin kepastian hukum mengenai jangka waktu pemberhentian sementara.

Analisis pasal 23: Alasan mengenai mengapa pada UU No.9 tahun 2004 tidak dijelaskan tentang keberadaan Pasal 23 karena pemberhentian sementara tidak diberlakukan lagi, sebab apabila hakim tersebut melakukan kesalahan, maka ia harus diberhentikan dari jabatannya sebagai pegawai negeri (hakim), dan tidak diberhentikan sementara.

Analisis pasal 24: Tidak diberlakukannya lagi pasal 24 di UU no.9 tahun 2004 dikarenakan tata cara pemberhentian sementara baik secara hormat maupun tidak hormat,secara tegas tidak diberlakukan lagi. Saat ini pemberhentian yang berlaku yaitu pemberhentian secara total.

Analisis pasal 25: Tidak diberlakukannya lagi pasal 25 ayat (1) UU no.9 tahun 2004 dikarenakan kedudukan protokol hakim tidak lagi diatur lagi dengan keputusan presiden, karena dianggap tidak lagi berkesinambungan dengan undang-undang yang berlaku. Begitu juga dengan ayat (2) UU No.5 tahun 1986.

Analisis pasal 26: Perubahan pasal ini tentang pengaturan mengenai penangkapan tanpa perintah terhadap Hakim, Wakil Ketua, dan Hakim. Hal ini tidak lagi diatur secara tegas karena hal tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip penangkapan, dan dalam penangkapan diberlakukan prosedur yang sesuai dengan aturan hukum agar terjadi kepastian hukum.

Analisis pasal 27: Tidak diberlakukannya lagi pasal 27 UU no.9 tahun 2004 dikarenakan peran Panitera pengganti kurang begitu signifikan.

Analisis pasal 28: Perbedaannya mengenai syarat tentang pengalaman si panitera pengadilan tata usaha negara. Hal ini hanya menyangkut pengalaman saja jadi hal tersebut tidak terlalu mempengaruhi dalam substansi peraturan dari Pasal 28 UU no.5 tahun 1986 jo. UU No.9 tahun 2004.

Analisis pasal 29: Dalam undang-undang yang baru terdapat perbedaan yaitu bertambahnya syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara, syarat yang baru adalah sehat secara jasmani dan rohani. Aspek ini berkaitan erat dengan kecakapan dari panitera dalam menjalankan tugas-tugasnya. Selain diatur dalam undang-undang HAPTUN, mengenai sehat secara jasmani dan rohani juga diatur dalam Kode Etik Panitera yang dibuat oleh Ikatan Panitera/Sekeretaris Pengadilan Indonesia (IPASPI) yaitu pada Pasal 6 ayat (1).Selain hal diatas, yang diperbaharui adalah persyaratan pengalaman yang dibutuhkan untuk menjadi seorang panitera.

Analisis pasal 30: Menyadari pentingnya peran dari wakil panitera yang membantu panitera dalam persidangan, maka pemerintah juga merubah ketentuan mengenai persyaratan menjadi wakil panitera. Perubahan persyaratan tersebut mengacu pada perubahan syarat pada perubahan syarat menjadi panitera.

Analisis pasal 31: Mengenai pengangkatan Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Tata usaha Negara haruslah memenuhi syarat sehat jasmani dan rohani. Syarat ini wajib terpenuhi, karena cakap atau tidaknya seorang dalam segala bidang dapat dilihat dari faktor syarat kesehatan jasmani dan rohani. Jika seseorang tidak sehat jasmani dan rohani, bagaimana bisa ia melakukan pekerjaannya dengan cakap. Dengan dirubahnya pasal 31 butir c ke dalam Undang-undang No. 9 tahun 2004,diharapkan bahwa dengan dikuranginya prasyarat mengenai pengalaman kerja,maka tidak akan mematikan karir dari si panitera tersebut,karena dengan lamanya syarat pengalaman bekerja,hanya akan membuat masa efektif bekerja panitera tersebut semakin berkurang, sehingga bisa mematikan karier panitera tersebut.

Analisis pasal 32: Sama halnya seperti pasal tersebut sebelumnya di atas,faktor sehat jasmani dan rohani haruslah terpenuhi.Terlebih lagi ketika itu menyangkut panitera muda yang kecakapannya diharapkan secara optimal. Dengan dikuranginya pengalaman dari 3 tahun menjadi 2 tahun, maka produktivitas kerja dari si muda dapat lebih ditingkatkan.

Analisis pasal 33 dan 34: Dalam undang-undang yang baru terdapat perbedaan yaitu bertambahnya syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara, syarat yang baru adalah sehat secara jasmani dan rohani. Aspek ini berkaitan erat dengan kecakapan dari panitera dalam menjalankan tugas-tugasnya. Selain diatur dalam undang-undang HAPTUN, mengenai sehat secara jasmani dan rohani juga diatur dalam Kode Etik Panitera yang dibuat oleh Ikatan Panitera/Sekeretaris Pengadilan Indonesia (IPASPI) yaitu pada Pasal 6 ayat (1). Selain hal diatas, yang diperbaharui adalah persyaratan pengalaman yang dibutuhkan untuk menjadi seorang panitera.

Analisis pasal 35: Dalam undang-undang yang baru terdapat perbedaan yaitu bertambahnya syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara, syarat yang baru adalah sehat secara jasmani dan rohani.

Analisis pasal 36: Pada ayat 2, perubahan yang terlihat adalah perubahan kata penasihat hukum menjadi advokat. Hal ini karena undang-undang no. 5 tahun 1986 belum mengenal istilah advokat. Istilah advokat ini baru dikenal setelah Indonesia memiliki undang-undang advokat pada tahun 2003.

Analisis pasal 37: Pengangkatan dan pemberhentian dalam UU no. 5 tahun 1986 dilakukan oleh Menteri Kehakiman, sementara UU no. 9 tahun 2004 dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Analisis pasal 38: Dalam Pasal 38 ini terdapat perubahan dimana dalam UU yang lama dikatakan bahwa sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti diambil sumpah atau janjinya menurut agama atau kepercayaannya, sementara dalam UU yang baru hanya menurut agamanya. Unsur kepercayaan dihapuskan, karena kepercayaan merupakan bagian dari agama.

Analisis pasal 39: Pasal 39 A,B,C,D,E dalam UU no.9 tahun 2004 ini adalah bentuk penjabaran dari pasal 39 UU no.5 tahun 1986, dimana yang dijabarkan lebih lanjut adalah mengenai jurusita.

Analisis pasal 42: Perbedaan antara UU lama dan UU baru pada pasal 42,hanyalah terletak pada ketentuan mengenai kesehatan saja. Pada UU baru terdapat aturan bahwa untuk menjadi Wakil sekretaris pengadilan harus sehat jasmani dan rohani.

Analisis pasal 44: Bahwa UU lama menghendaki Wakil sekretaris pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman dikarenakan UU ini masih mengacu pada ketentuan UU no.14 tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Ini mengakibatkan PTUN kewenangannya berada di bawah departmen kehakiman, yang juga mengakibatkan beberapa kewenangan tertinggi dipunyai oleh menteri kehakiman. Sedangkan pada UU baru, alasan kewenangan berpindah kepada Mahkamah Agung, berarti dapat dikatakan UU ini telah mengacu pada UU no. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, yang pada pasal 10 menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkmah Konstitusi. Oleh karena itu maka PTUN, secara organisasi, administrasi dan financial telah berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Analisis pasal 45: Sebenarnya perbedaan pada pasal ini hanya terletak pada bagian penyusunan kata-kata di waktu sekretaris dan wakil sekretaris diambil sumpah, akan tetapi maknanya sebenarnya sama saja.

Analisis pasal 46: UU baru telah mengacu pada UU no. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, yang pada pasal 10 menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkmah Konstitusi. Oleh karena itu maka PTUN,secara organisasi,administrasi dan financial telah berada di bawah kekuasaan Mahkmah Agung.

Analisis pasal 53: Perbedaan antara UU lama dan UU baru pada pasal ini adalah terletak pada alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan. Persamaan: Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Perbedaan: pada Undang-Undang No. 5 tahun 1986,badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut. Sedangkan pada Undang-Undang no.09 tahun 2004 Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Analisis pasal 116: Pada pasal ini UU lama maupun UU baru, cenderung ditekankan pada hal Eksekusi. Pada UU lama jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Sedangkan pada UU baru,dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.

Analisis pasal 118: Pasal ini mengatur tentang intervensi pihak ketiga.Alasan dicabutnya pasal 118 UU No 5 Tahun 1986 karena di dalam praktek gugatan perlawanan dari pihak ketiga dalam suatu sengketa tidak mungkin dilakukan dalam peradilan TUN.

Analisis pasal 143: Alasan disisipkannya pasal 143 a,dapat kita lihat dengan jelas, bahwa pada saat UU baru ini mulai berlaku, maka peraturan perundang-undangan UU lama masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini. Karena pada UU baru hanya beberapa pasal saja yang diubah dari UU lama, sedangkan banyak ketentuan pasal UU lama yang tidak diubah..

Analisis pasal II: Pasal II ini bisa juga dikatakan sebagai ketentuan penutup dari UU baru ini. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Jadi setelah dicetak oleh lembaran Negara, maka dianggap semua orang telah mengetahuinya.

You Might Also Like

1 komentar