Terimakasih Anakku

November 27, 2017


Salah satu kebahagiaan dalam hidup saya adalah saat menatap berlama-lama wajah kedua anak laki-laki saya yang sudah tertidur pulas di malam hari. Mengenang detik demi detik, hari demi hari, tahun demi tahun yang telah kami lalui bersama. Anak-anak yang mengajarkan banyak hal kepada orangtuanya, baik dalam tangisnya maupun dalam tawanya. Anak-anak yang menjadi penyejuk hati dan mata kedua orang tuanya.
Ketika masih bayi, belajar merangkak, melangkah tertatih-tatih hingga mulai belajar membereskan tempat tidurnya dan terjatuh saat belajar naik skuter, anak-anak seperti mengingatkan saya untuk tidak terlalu bergegas, tergesa-gesa dan terburu-buru menjalani kehidupan ini. ''Tanganku masih kecil, kakiku masih belum kuat melangkah, genggam erat tanganku, jangan berjalan terlalu cepat. Kelak, aku juga dapat berjalan beriring bersamamu, mama dan papa.''
Tatapan matanya begitu bening, begitu polos. Ya,  anak-anak kecil belum melihat banyak hal di luar rumah. Tapi tatapannya seperti mengingatkan saya, ''Aku belum banyak melihat, dan kelak beri aku kesempatan menatap dan mengarungi dunia dengan aman. Jangan batasi aku dengan sedikit-sedikit melarang untuk tidak melakukan ini-itu. Laranglah, bila itu memang sangat perlu untuk dilarang.''
Anak-anak jaman sekarang, sekali kita ''meleng'' sudah berubah menjadi besar. Menjadi bukan anak-anak lagi. Ia tak mau lagi dipeluk, apalagi di depan teman-temannya. Ia tak mau lagi diajak jalan-jalan bersama, karena ia sudah punya teman bermain sendiri, dan sudah punya jadwal sendiri. Tak peduli sejenak kepadanya, seperti ada garis waktu yang hilang, di mana saat itu anak-anak sebenarnya berharap mendapat penjelasan tentang dunia yang akan dihadapinya kelak.
Tak jarang, anak-anak membangkitkan rasa kesal. Rasa amarah, meski kemudian saya sesali sendiri, kenapa saya mesti marah? Tatapan matanya, dan linangan air matanya, seperti menyadarkan saya, bahwa ia masih anak-anak. Perasaannya lembut. Ia sedang belajar mengenali dirinya, meminta diperlakukan, sebagaimana saya ingin diperlakukan oleh orang lain. Tidak harus dihadapi dengan bentakan.
Anak-anak kita tentu membutuhkan dukungan dan dorongan untuk tumbuh dengan baik. Untuk menghadapi masa depan, yang berbeda sama sekali dengan masa-masa yang pernah dihadapi orangtuanya. Mereka tak menutup pintu untuk menghadapi konsekuensi atas perbuatannya yang salah. Tetapi ia membutuhkan penjelasan, mengapa perbuatan itu salah. Jika tidak, hukuman yang kita berikan, apalagi diselip perasaan benci, akan tertanam di batinnya, dan kelak bisa berbuah dendam.
Tak jarang pula, kita memaksakan kehendak. Dari mulai urusan berpakaian, makanan, bahkan pilihan sekolah. Padahal, baik menurut kita, belum tentu baik menurut mereka. Pantas menurut kita, belum tentu pantas menurut mereka. Mari jujur bertanya ke diri sendiri, apakah pilihan kita itu untuk menyenangkan mereka, atau hanya untuk memenangkan gengsi kita di hadapan orang-orang?
''Papa, Mama, beri aku kesempatan belajar mengambil keputusan untuk diriku sendiri. Beri aku kesempatan untuk mengalami kegagalan atau berbuat kesalahan sehingga aku dapat belajar dari hal itu. Bantu aku untuk mengatasi kegagalan dan memperbaiki kesalahan sehingga kelak di masa depan aku sudah siap mengambil keputusan yang tepat untuk hidupku.'' Mungkin itu sebagian ungkapan hati mereka yang belum bisa tersampaikan kepada kami orang tuanya.
Anak-anak juga tak suka untuk dibanding-bandingkan dengan adik atau kakaknya, dengan saudara-saudara lain dan juga dengan orang-orang lain. Mama tahu itu karena Mama pun pernah mengalami masa dibanding-bandingkan dengan orang lain oleh orang tua Mama. Namun, entah kenapa, masih saja kerap kali keluar kalimat, ''Contoh dong mas, anak baik, selalu nurut, makanya dia jadi anak pintar.'' Pertanyaannya, predikat ''pintar'' dalam kalimat itu adalah untuk kebahagiaan anak atau untuk kebanggaan dan kebahagiaan kita sebagai orangtua? ''Siapa dulu dong, mamanya?''
Setiap ada postingan yang mengingatkan Mama untuk memberi lebih banyak waktu untuk bermain dengan buah hatinya, selalu menimbulkan tetes mata yang menyeruak dari ujung mata Mama. Yang kurang lebih mengatakan;  Mama, hari ini anakmu tidak seperti kemarin. Hari ini ia lebih tua satu hari dari kemarin. Ia lebih besar satu hari dari kemarin, dan waktu kemarin yang berlalu itu, tidak akan pernah terulang kembali. Mama sempatkan lah bermain dengan anakmu. Karena setiap hari baru, Mama akan kehilangan satu kesempatan untuk bermain diusianya di hari itu. Dan waktu itu, tidak akan pernah kembali lagi 
bermain tembakan air, mewarnai, membuat parkiran mobil, petak umpet, potong dan tempel, mengaduk adonan, mencuci beras... Semua itu hal kecil, tapi akan senantiasa terpatri di hati dan akal anak-anak kita. 
Pada akhirnya, jika ruh sudah dikeluarkan dari jiwa, bukan mainan mahal yang akan dikenang oleh mereka. Bukan pula buku sampul tebal berwarna warni yang tertumpuk apik di ruang baca. Bukan mobil mewah dan rumah besar, liburan keluar negeri yang akan terngiang-ngiang di telinga dan akal mereka. Tetapi hal kecil, cerita kecil sebelum tidur malam, kecupan serta pelukan. Lelucon yang bikin ketawa sampai sakit perut. Bermain dengan tepung sampai wajahnya berubah putih. Bercanda, gelitikan, main bisik-bisikkan, main bayangan. Itu yang akan diingat. Itu yang akan dikenang, itu...
Kasih sayang tidaklah mahal.
Waktu adalah benda termurah yang paling berarti, yang bisa Mama beri pada orang yang sangat Mama cinta.
Sebelum, terlampau letih
Sebelum naik intonasi karena berantakannya rumah hari ini. 
Sungguh, anak-anak tidak perduli akan semua itu. Lepaskan penat dengan bercanda bersama mereka, membacakan buku yang sejak tadi diminta untuk tolong dibaca oleh mereka.
'Mengasuh itu, adalah membuat kenangan'
Jadi,
Kelak ingin seperti apakah engkau dikenang?
Kehadiran anak-anak adalah karunia, lebih dari segalanya, anak adalah hadiah terindah dari Allah. Sudahkah kita memperlakukan mereka sesuai kehendakNya?
Hari ini, saya bisa menjawab: belum!
Maafkan mamamu, Nak....
Terimakasih atas segala kesabarannya, pengertiannya dan kelapangan hati menghadapi mama yang jauh dari kesempurnaan.
Tulisan ini, curahan hati saya dari seorang mama yang belum rela membagi waktu mengasuh anak dengan profesi. Mama yang harus terus belajar untuk sabar dan menahan amarah. Terimakasih mba Juli sudah memilih tema "curahan hati untuk buah hati" sehingga menjadi pengingat pada diri yang masih lemah iman ini agar selalu mengingat bahwa anak-anak adalah titipan harta yang sangat berharga dari Allah.


You Might Also Like

0 komentar