Tentang Meraih dan Melepaskan

November 11, 2017

"Pokoknya sebisa mungkin saya tidak akan mau menikah dengan orang yang kerja di bidang militer. Saya tidak mau kalau nanti ditinggal dinas terus.” Seperti itulah kalimat gegabah yang keluar dari mulut saya tentang bayangan calon suami dan pekerjaannya yang ketika itu saya masih single.
Beberapa tahun kemudian, doa saya pun terjawab. Saya memang tidak berjodoh dengan orang militer, melainkan seorang PNS DJP. Namun apa bisa dikata, pekerjaan suami saya ternyata menuntutnya untuk pulang malam apabila sedang ada lembur. Terlebih lagi, saya bisa ditinggal beberapa hari apabila suami saya harus melakukan dinas ke luar kota! Walaupun ditinggal namun saya senang jika suami mendapatkan tugas dinas ke luar kota karena jadi ada tambahan pendapatan bulanan 😬

Saya menyadari ketika saya menerima dia sebagai suami, tentu saya harus menerima dia dengan satu paket dari semua yang melekat pada dirinya. Lagipula dibalik jam kerjanya yang padat, saya bangga memiliki suami seorang PNSDJP rasa engineer karena suami saya selalu memiliki solusi untuk memperbaiki barang rusak. Selain itu ia juga pintar hitung – hitungan! Mengimbangi otak kanan saya yang lemah ini, hehehe. Suami selalu berpesan kepada saya untuk selalu mendukungnya dalam pekerjaan. Bentuk dukungan yang diminta adalah dengan menjaga dan merawat anak – anak kami, karena saya yang memiliki waktu lebih banyak bersama mereka dibandingkan dengan suami saya. Setiap pagi sebelum berangkat kerja, suami seringkali meminta saya memeluknya. Ia berkata pelukan istrinya merupakan mood booster yang paling besar bahkan mengalahkan seporsi bubur ayam favoritnya.

Jadwal kerja suami sebagai PNS tidak seketat di perusahaan swasta. Kadang – kadang bahkan bisa ambil cuti dadakan apabila ada keperluan keluarga atau anak sedang sakit.  Namun tantangan kehidupan sosial di kantor PNS lebih tinggi sehingga membuat suami mudah stres, kadang saya sebagai istri suka sedih melihatnya.  Saya selalu siap support dengan bersabar kalau – kalau pendapatan sedang turun. Support doa itu pasti, agar suami selalu berada di jalan yang benar dan selalu bersabar serta dimudahkan rejekinya.

Bukan rahasia lagi kalau di yang memiliki karir dan bercita-cita menjadi perempuan sukses. But, sorry I’m not into it. Bukan, bukannya saya tidak ingin sukses, siapa sih yang tidak mau sukses?

tapi, apa itu sukses?

Ada yang bilang sukses itu ketika sudah mapan – punya rumah sendiri, punya mobil sendiri, pekerjaan dengan gaji besar; ada juga yang bilang sukses itu kalo udah bisa punya usaha sendiri, bisa jadi sukses menurut beberapa orang itu bisa nikah dengan laki-laki yang kaya (ini untuk perempuan ya) dan masih banyak definisi-definisi sukses lainnya menurut banyak orang. Lain kepala, lain cerita.

Cita-cita saya dulu juga sama tetapi sekarang sedikit direvisi, saya ingin menjadi perempuan sukses – bukan sukses karir, tapi sukses dalam hidup (asik!)

Temen-temen saya yang berlatar belakang pendidikan yang sama dengan saya – Sarjana Hukum (S.H) – bukan Susah Hidup – banyak yang berbondong-bondong untuk kuliah lagi melanjutkan kuliah ke jenjang S3, ada yang ikut kursus PKPA bagi mereka yang tertarik untuk jadi penerusnya Farhat Abbas, bukan-bukan jadi tukang cari sensasi tapi jadi Pengacara. Sedikit banyak social media itu sempet mempengaruhi saya. Melihat teman-teman saya suka upload foto , lagi kursus PKPA, check in di Pengadilan mendampingi klien mereka, keren juga bahkan kebanyakan teman seangkatan saya sudah resmi menjabat menjadi notaris.

Ambisi untuk menjadi perempuan dengan karir gemilang menjadi seorang notaris saya tunda untuk waktu yang tidak terbatas dari list hidup saya saat ini.

Kenapa?

Cita-cita saya saat ini, saya hanya ingin menjadi seorang istri dan seorang ibu profesional bagi anak-anak saya.

Karena menurut saya ketika saya sudah berkeluarga, keluarga saya (baik suami dan anak-anak saya) bukan sebuah option dalam hidup saya, mereka bukan bagian dari sebuah pilihan ketika saya harus memutuskan saya harus memprioritaskan karir atau keluarga kecil saya. Jelas, ketika saya berkeluarga, keluarga kecil saya ini adalah satu-satunya, tidak pernah menjadi sebuah pilihan, walaupun prioritas, tapi SATU-SATUNYA.

Saya tidak pernah menyalahkan perempuan yang berambisi mencari karir bagus, punya uang banyak, and be a boss, tapi saya hidup tidak berambisi untuk itu. Saat saya memutuskan menikah dengan suami saya yang notabene PNS DJP orientasi saya berubah 180 derajat. Buat apa saya buang-buang waktu mengejar karir bagus yang nantinya bakalan saya tinggalkan untuk membina sebuah keluarga kecil. Kenapa saya harus menunda hal membahagiakan seperti menikah dan punya anak hanya untuk mengejar karir dan uang banyak.

kalau punya karir bagus, uang banyak kan nanti masa depan anak bisa lebih baik

Saya tidak akan mengajarkan anak-anak saya nanti bagaimana rasanya bahagia ketika kita punya uang banyak, tapi saya saat ini berusaha mendidik anak saya untuk bisa mencari kebahagiaan walaupun uang di dompet hanya tinggah recehan saja. Yang jelas saya berusaha menanamkan karakter bahwa mereka harus kuat, harus tangguh karena mereka itu laki-laki. Calon pemimpin peradaban. Anak-anak saya nantinya harus lebih hebat dari ibu dan bapaknya.

Kalo nanti kamu hidup sederhana, cuma makan tahu tempe setiap hari, gimana anak-anak bisa jadi berprestasi? (ingatan saya langsung terkenang akan perjuangan ibu mertua saya yang sangat hebat bisa membesarkan anak 4 dan sukses padahal SMP saja tak lulus)

Loh, yang saya tahu malahan kebanyakan anak yang berprestasi itu yang suka makan tahu tempe setiap hari ketimbang yang anaknya setiap hari konsumsi kfc cuma buat makan seharga tiga puluh ribu. Kalo anak-anak saya mau punya banyak uang ya dia harus berusaha sendiri untuk belajar dan sekolah yang baik. Karena setiap anak membawa rezekinya masing-masing Allah sudah menakarnya.

dan masih banyak pertanyaan orang-orang lainnya yang bertolak belakang dengan pemikiran saya.

Saya tidak mau hidup mumpuni, beli ini itu dengan mudah, memanjakan anak dengan harta berlimpah tetapi saya malah sering di luar rumah, anak-anak diasuh pembantu, dididik pembantu dan kurang kasih sayang.

Saat ini saya ingin menjadi stay at home mom di rumah, merawat dan mendidik anak-anak saya sendiri, membersamai setiap tumbuh kembang anak saya sendiri sampai mereka menemukan fitrah mereka masing-masing.

karena…

setinggi-tingginya karir seorang perempuan, yang paling mulia adalah menjadi seorang istri dan seorang ibu,because I already a Boss in my own life.

Ditulis dalam rangka pergolakan batin, untuk yang kesekian kali saya melewatkan pendaftaran ujian profesi ppat (lagi) tahun ini.
.
.
.
Kenapa?
.
.
.
Saya mendadak merasa rapuh dan ingin menangis ketika mendapati mata berapi-api anak 3 tahun yang berkata "faris sayang loh sama mama, faris nggak mau mamanya tua. Maunya mamanya yang cantik, yang masakin kue buat faris, bacakan buku buat faris."
.
.
.
Ah, sungguh sulit mengutarakan apa yang saya rasakan malam ini. Anak sulung saya yang tidak pernah bersedih jika saya menegurnya dengan nada (agak) tinggi. Yang hanya bisa bertanya, "kok mama gitu bilangnya ke Faris".  Yang tidak pernah bilang kalau mamanya ini galak, dia selalu bilang "mama nggak galak kok, kadang-kadang aja marahnya kalau Faris nggak nurut" 😭😭
.
.
.
Yang selalu sabar menunggu saya selesai cuci piring atau sekedar menjemur baju hanya demi ingin ditemani menggosok gigi dan berganti baju tidur. Ah, terlalu mahal rasanya menggantikan itu semua dengan sebuah jabatan dan karir.
.
.
.

Rasanya banyak sekali hutang saya sama si sulung. Waktu yang terbagi, kesabaran yang terbatas, pendampingan yang tidak maksimal, ekspektasi yang tinggi. 😩

You Might Also Like

0 komentar