Waspada Grooming dalam Kejahatan Seksual Terhadap Anak

Agustus 19, 2019






Beberapa hari yang lalu, saya membaca berita online yang mengabarkan bahwa ada seorang anak sekolah (laki-laki) yang dicabuli oleh gurunya sendiri. Korban diancam dan diteror hingga setahun lamanya dengan ancaman akan menyebarkan video tidak senonoh mereka berdua. Dada saya berdegup kencang seketika. Zaman di depan saya yang akan dihadapi anak-anak nanti jauh lebih berat tantangannya dan saya wajib membekali dan terus mereka saat ini hingga nanti. Hubungan sebab akibat antara internet dan teknologi informasi dengan kasus kekerasan seksual terhadap anak (child sexual abuse) tidak bisa dibantah lagi. Banyak pihak yang menghubungan meningkatnya angka kasus kekerasan seksual dari waktu ke waktu, salah satunya karena faktor hadirnya internet dan teknologi informasi yang demikian massif. Apalagi internet dan teknologi informasi saat ini sudah menjangkau semua kalangan umur, termasuk anak usia sangat belia. Namun di sisi lain kelompok rentan, yaitu anak belum siap untuk menghadapi dampak tersebut.
Diakui bahwa penemuan internet dan teknologi informasi sudah membawa kemajuan bagi peradaban manusia. Kehadiran keduanya yang saling menunjang dan saat ini menjadi satu paket yang tidak bisa dipisahkan, telah membawa banyak manfaat dan memberikan kemudahan dalam segala aktivitas kehidupan. Namun sisi negatif dan dampaknya terhadap anak masih kurang mendapatkan perhatian banyak, yaitu dari pengguna dan stakeholder terkait.
Tidak bisa dipungiri, internet dan teknologi informasi menjadi media perantara antara pelaku kejahatan (disarter) dengan korbannya (victim). Calon korban yaitu anak tidak menyadari akan bahaya tersebut tersebut karena hanyut dalam rayuan dan modus yang ditebar pelaku yang seloah-olah ingin menjadi sabahat anak. Orangtuapun lengah dari bahaya internet dan teknologi informasi yang saat ini dimanfaatkan pelaku kejahatan seksual terhadap anak mengincar korbannya.
Bukan rahasia umum lagi bahwa internet dan teknologi informasi sering dimanfaatkan untuk pembuatan dan penyebaran pornografi anak. Meskin situs-situs pornografi banyak yang sudah bisa diblokir oleh pihak berwenang, namun bukan berarti berselancar di dunia maya dan memiliki jejaring sosial di internet aman untuk anak. Gambar, film, video, narasi atau apun bentuknya yang berbau porno masih bisa diakses dan buka untuk anak. Selain pornografi dan kekerasan seksual, bahaya lain internet adalah penyebaran konten-konten yang bersifat kekerasan fisik dan bully.
Namun masih ada satu bahaya lagi bagi anak-anak kita dari bahaya internet dan teknologi yang kita genggam sehari-hari oleh anak. Apakah itu? Grooming, yaitu proses pendewasaan atau menjadi seorang anak cepat dewasa secara seksual oleh orang dewasa untuk tujuan kekerasan seksual. Grooming ini dimanfaatkan para pelaku kejahatan seksual saat ini untuk mengurangi resistensi atau perlawanan seorang anak. Para pelaku juga menggunakan proses grooming, dimana mereka akan menjadi teman seorang anak dengan tujuan untuk memperkecil hambatan dari anak tersebut dan menyiapkan anak tersebut menjadi korban kekerasan.
Proses grooming ini banyak dimanfaatkan pelaku yang mengincar korban anak di internet dan jejaring sosial. Pelaku pura-pura baik dan perhatian terhadap anak sehingga anak atau remaja percaya dengan orang yang baru dikenalnya tersebut di dunia maya atau jejaring sosial.
Pada tingkat selanjutnya remaja atau korban yang diincar ikut curhat dengan leluasa. Di saat inilah pelaku dengan lihai menjebak remaja atau calon korbannya untuk selanjutnya terlibat dalam pembicaraan intim dan private dengan pelaku. Antara lain hal-hal yang berbau pornografi, sesuatu hal yang belum dipahami anak. Karena tertarik atau penasaran, apalagi dibarengi rasa ingin tahu dari anak, maka pelaku mengajari remaja dengan hal-hal yang tidak senonoh dan belum pernah dilakukan.
Dari bilik chatting, hubungan di dunia maya atau jejaring sosial selanjutnya bisa berlanjut saling bertukar nomor ponsel dan interaksi lewat SMS atau panggilan telepon. Bila remaja anak belum percaya atau belum memberikan nomor ponselnya, interaksi di jejaring sosial tersebut terus berlanjut sampai remaja benar-benar percaya sehingga memutuskan memberikan nomor ponsel.
Padahal di balik sana, orang yang baru dikenal tersebut bisa jadi memberikan identitas palsu baik nama, umur, status dan segala macamnya. Misalnya umurnya sudah dewasa atau sudah berkeluarga yang sengaja mencari korban anak untuk dieksploitasi secara seksual. Pelaku tidak mesti memberikan identitas palsu, yang penting korbannya terjerat untuk aksi selanjutnya.
Beberapa tahun belakangan ini, perhatian besar telah dicurahkan pada grooming internet, dimana seseorang yang telah dewasa dengan sengaja mengatur dan menggunakan ruang chatting untuk menyiapkan atau ”membesarkan” seorang anak untuk selanjutnya melakukan pertemuan fisik atau pertemuan virtual untuk atau mengakibatkan kekerasan seksual terhadap anak. Di saat pertemuan fisik tersebutlah kemudian terjadi kekerasan seksual seperti pecabulan, pelecehan seksual dan kekerasan seksual lainnya.
Modus yang digunakan pelaku adalah menggunakan proses grooming terhadap korban dengan cara memacari korban, menyatakan suka dan cinta meskipun belum ketemu secara nyata. Padahal yang diinginkan pelaku bukan hubungan dalam bentuk pacaran, tetapi hubungan jangka pendek dengan tujuan ekspolitasi sesual semata. Makanya pembicaraan pelaku lebih banyak mengarah kepada hal-hal tentang seks. Semakin lama korban hanyut dan mau menuruti keinginan pelaku, termasuk mau bertemu langsung, sehingga materi pembicaraan yang bersifat khayalan menjadi nyata pada pertemuan. Korban akhirnya masuk perangkat pelaku.
Dari kasus pencabulan terhadap yang pernah ditangani KPPAD Kepri, beberapa kasus diantaranya merupakan akibat dari perkenalan anak di jejaring sosial dengan orang dewasa yang baru dikenalnya. Diantaranya, ada seorang siswi SMP di Batam dicabuli oleh seorang mahasiswa ketika saat janjian pertemuan pertama kali terjadi. Sebelumnya antara pelaku dan korban sudah intens komunikasi lewat jejaring sosial dan BBM, termasuk mereka akan melakukan hal-hal apa ketika setelah pertemuan terjadi. Saat bertemu, korban kemudian dibawa ke hotel dan terjadi pencabulan sebanyak dua kali. Pelaku akhirnya dihukum penjara atas perbuatannya yang mengincar anak untuk kejahatan seksual.
Padahal, menurut ibu korban, selama ini anaknya sudah mengawasi anaknya secara ketat, membatasi pergi kemana-mana, selalu diantar-jemput ke sekolah dan tempat lain. Orangtuanya pernah mengizinkan anaknya tersebut pegi keluar karena hari libur dan janji ketemu temannya. Orangtua tidak menyadari bahwa ada dunia lain bagi anak saat ini yaitu dunia maya, yang dengannya anak bebas berselancar kemana-mana, bebas bicara dengan siapa saja tanpa mengenal waktu dan tempat.
Mestinya anak yang suka lama-lama menyendiri di kamar tidur atau selalu sibuk interaksinya dengan gadget-nya perlu diwaspadai para orangtua akan bahaya grooming terhadap anaknya. Dalam kasus anak lainnya di Kepri, ada beberapa remaja yang kabur dari rumah atau tidak pulang-pulang setelah bertemu dengan orang yang baru dikenalnya di jejaring sosial. Innalillahi
Teknologi informasi dan komunikasi serta internet juga bisa digunakan para pelaku eksploitasi seksual anak untuk mendapatkan akses pornografi anak secara langsung. Pornografi seperti ini menggunakan network sharing file, newsgroups, system peer2peer (pertemanan kelompok sebaya) dan teknologi lain untuk bertukar bahkan bisa juga menjual pornografi anak. Para pelaku menggunakan handphone dan ruang chatting serta tempat-tempat sosial online untuk mengikat dan ”menyiapkan” anak dengan tujuan penyalahgunaan dan eksploitasi secara seksual.
Bahkan hal ini selain bisa dilakukan secara pribadi, bisa dilakukan dengan terorganisir antar pelaku. Ini memberikan kesempatan untuk membentuk jaringan-jaringan dengan tujuan saling tukar materi atau konten seksual dan pornografi seperti gambar, film dan lain sebagainya, serta untuk mendapatkan akses kepada korban.
Kapanpun perdagangan gambar dan informasi yang terjadi maka penyalahgunaan tersebut dapat dikategorikan sebagai eksploitasi seksual terhadap anak.Gambar atau film kartun yang berbau pornografi yang marak di internet di juga bisa dimanfaatkan untuk proses grooming. Kegiatan-kegiatan yang mengandung kekerasan seksual terhadap anak tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak tersebut.
Ekshibisme atau voyeurisme seperti orang dewasa yang menonton atau melihat gambar seorang anak sedang telanjang. Kekerasan seksual termasuk komentar seksual terhadap seorang anak, melakukan panggilan telepon yang terkait dengan seksual, phonesex, dan sebagainya.
Sebenarnya proses grooming tidak mesti terjadi di dunia maya atau jejaring sosial, tapi bisa terjadi dalam hubungan nyata sehari-hari anak/remaja dengan orang lain yang dewasa. Tidak jarang pelaku sering kali adalah orang yang telah mengenal korban dan seharusnya memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan menjaga keselamatan anak tersebut, seperti tetangga, ayah tiri, guru, sanak keluarga, dan lainnya. Oleh sebab itu, kejahatan seksual yang terjadi merupakan sebuah pengkhianatan kepercayaan dan penyelewengan sebuah posisi kekuasaan terhadap anak.
Hukum nasional kita yang mengatur soal tindak pidana kejahatan terhadap anak seperti UU Perlindungan Anak, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sudah memasukkan pengertian dan ancaman pidana untuk segala macam kejahatan seksual terhadap anak, baik yang kontak langsung dengan anak maupun yang tidak kontak langsung dengan anak.
Yang kontak langsung dengan anak, misalnya pencabulan atau hubungan seksual dengan anak, terlepas ada unsur pemaksaan atau tidak dari pelaku. Modus dengan cara bujuk rayu, iming-iming hadiah, dan janji agar anak mau melakukan hubungan seksual bisa menjerat pelaku.
Termasuk menyuruh anak melakukan hubungan seksual dengan orang lain lewat kejahatan trafiking dan eksploitasi seksual komersial anak (ESKA). Kejahatan seksual yang tidak perlu kontak langsung dengan anak seperti mengirim konten-konten pornografi kepada anak, menyebarkan foto atau video telanjang anak baik di internet atau tidak, menyuruh anak untuk melakukan pornoaksi, tarian telanjang, dan sebagainya.
Internet, jejaring sosial dan teknologi informasi terbukti telah memicu banyaknya kasus kejahatan seksual terhadap anak. Namun bukan berarti semua orang tak dikenal di dunia maya dan jejaring sosial perlu dihindari atau tidak dipercayai oleh anak. Yang diperlukan anak adalah mewaspadai bahaya grooming dan pornografi sehingga bisa terhindar dari kejahatan yang dirangcang pelaku. Mengetahui tersebut dengan cara memahami trik-trik dan proses yang dilakukan pelaku di dunia maya.
Bila sudah mengarah ke pornografi dan membawa kita hanyut dalam proses grooming tersebut maka kita harus menolak, tidak melanjutkan, kalau perlu menghapus pertemanan di akun kita. Atau ketika kejadian sudah di depan mata, memilih kabur dari cengkaraman pelaku merupakan solusi terakhir seperti yang dilakukan gadis belia 13 tahun di atas. Ia selamat setelah dihakan sekuriti ke rumahnya keesokan paginya. *ditulis dari berbagai sumber

You Might Also Like

0 komentar