Penyitaan Minuta Akta Notaris oleh
Kepolisian bisakah dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan?
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan (pasal 1 angka 16 KUHAP). Adapun benda yang disita hanyalah benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana. Benda yang dapat dikenakan penyitaan diatur dalam pasal 39 KUHAP.
Pasal 43 KUHAP menentukan bahwa penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain. Notaris merupakan pejabat yang menyimpan Minuta Akta dan berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatannya berdasarkan undang-undang, dalam hal ini UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dalam hal ini, penyitaan Minuta Akta Notaris harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Sebagai tambahan, menurut M. Yahya Harahap, dalam bukunya "Hukum Perseroan Terbatas" penyitaan Akta Notaris berpedoman kepada Surat Mahkamah Agung No. MA/Pemb/3429/86 tanggal 12 April 1986 dan pasal 43 KUHAP.
Adapun dengan berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, pengambilan fotokopi Minuta Akta dan Minuta Akta dapat dilakukan dengan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) di wilayah mana Notaris yang bersangkutan berkedudukan.
Pasal 8 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 mengatur bahwa Penyidik untuk kepentingan proses peradilan dapat mengambil Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, dengan meminta kepada Notaris yang bersangkutan untuk membawa Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dengan mengajukan permohonan tertulis kepada MPD dengan memuat alasannya; tembusan permohonan disampaikan kepada Notaris yang bersangkutan. Tata cara tersebut berlaku pula untuk pengambilan fotokopi Minuta Akta Notaris berdasarkan pasal 2 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007.
Untuk syarat pengambilan fotokopi Minuta Akta diatur dalam pasal 3 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007, yaitu:
a) ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; atau
b) belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.
Untuk syarat pengambilan Minuta Akta diatur dalam pasal 9 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007, yaitu:
a) ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
b) belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.
c) ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari para pihak;
d) ada dugaan pengurangan atau penambahan dari Minuta Akta; atau
e) ada dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal akta (antidatum).
Persetujuan MPD atas pengambilan fotokopi Minuta Akta dan Minuta Akta diberikan setelah MPD mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan (pasal 4 jo. pasal 10 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007). MPD wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari (kerja) sejak tanggal diterimanya permohonan dimaksud; dan apabila jangka waktu terlampaui MPD dianggap menyetujui (pasal 6 jo. pasal 12 Permenkumham Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007).
Pemberian fotokopi Minuta Akta kepada Penyidik disertai dengan berita acara serah terima (pasal 7 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007). Sedangkan untuk Minuta Akta, Penyidik hanya dapat meminta Notaris untuk membawa Minuta Akta untuk diperiksa di Pusat Laboratorium Forensik mengenai keabsahan tanda tangan dan/atau cap jempol pada hari yang ditentukan; dan apabila pemeriksaan belum selesai maka Notaris membawa kembali Minuta Aktanya untuk diperiksa kembali pada hari yang ditentukan; dan apabila pemeriksaan telah selesai maka Minuta Akta diserahkan kembali kepada Notaris yang bersangkutan (pasal 13 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007).
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
3. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan (pasal 1 angka 16 KUHAP). Adapun benda yang disita hanyalah benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana. Benda yang dapat dikenakan penyitaan diatur dalam pasal 39 KUHAP.
Pasal 43 KUHAP menentukan bahwa penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain. Notaris merupakan pejabat yang menyimpan Minuta Akta dan berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatannya berdasarkan undang-undang, dalam hal ini UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dalam hal ini, penyitaan Minuta Akta Notaris harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Sebagai tambahan, menurut M. Yahya Harahap, dalam bukunya "Hukum Perseroan Terbatas" penyitaan Akta Notaris berpedoman kepada Surat Mahkamah Agung No. MA/Pemb/3429/86 tanggal 12 April 1986 dan pasal 43 KUHAP.
Adapun dengan berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, pengambilan fotokopi Minuta Akta dan Minuta Akta dapat dilakukan dengan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) di wilayah mana Notaris yang bersangkutan berkedudukan.
Pasal 8 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 mengatur bahwa Penyidik untuk kepentingan proses peradilan dapat mengambil Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, dengan meminta kepada Notaris yang bersangkutan untuk membawa Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dengan mengajukan permohonan tertulis kepada MPD dengan memuat alasannya; tembusan permohonan disampaikan kepada Notaris yang bersangkutan. Tata cara tersebut berlaku pula untuk pengambilan fotokopi Minuta Akta Notaris berdasarkan pasal 2 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007.
Untuk syarat pengambilan fotokopi Minuta Akta diatur dalam pasal 3 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007, yaitu:
a) ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; atau
b) belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.
Untuk syarat pengambilan Minuta Akta diatur dalam pasal 9 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007, yaitu:
a) ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
b) belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.
c) ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari para pihak;
d) ada dugaan pengurangan atau penambahan dari Minuta Akta; atau
e) ada dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal akta (antidatum).
Persetujuan MPD atas pengambilan fotokopi Minuta Akta dan Minuta Akta diberikan setelah MPD mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan (pasal 4 jo. pasal 10 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007). MPD wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari (kerja) sejak tanggal diterimanya permohonan dimaksud; dan apabila jangka waktu terlampaui MPD dianggap menyetujui (pasal 6 jo. pasal 12 Permenkumham Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007).
Pemberian fotokopi Minuta Akta kepada Penyidik disertai dengan berita acara serah terima (pasal 7 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007). Sedangkan untuk Minuta Akta, Penyidik hanya dapat meminta Notaris untuk membawa Minuta Akta untuk diperiksa di Pusat Laboratorium Forensik mengenai keabsahan tanda tangan dan/atau cap jempol pada hari yang ditentukan; dan apabila pemeriksaan belum selesai maka Notaris membawa kembali Minuta Aktanya untuk diperiksa kembali pada hari yang ditentukan; dan apabila pemeriksaan telah selesai maka Minuta Akta diserahkan kembali kepada Notaris yang bersangkutan (pasal 13 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007).
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
3. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris
Perbedaan antara Legalisasi dan
Register (Waarmerking) adalah:
1. Legalisasi
Artinya, dokumen/surat yang dibuat di bawah tangan tangan tersebut ditanda-tangani di hadapan notaris, setelah dokumen/surat tersebut dibacakan atau dijelaskan oleh Notaris yang bersangkutan. Sehingga tanggal dokumen atau surat yang bersangkutan adalah sama dengan tanggal legalisasi dari notaris. Dengan demikian, notaris menjamin keabsahan tanda-tangan dari para pihak yang dilegalisir tanda-tangannya, dan pihak (yang bertanda-tangan dalam dokumen) karena sudah dijelaskan oleh notaris tentang isi surat tersebut, tidak bisa menyangkal dan mengatakan bahwa ybs tidak mengerti isi dari dokumen/surat tersebut.
Untuk legalisasi ini, kadang dibedakan oleh notaris yang bersangkutan, dengan Legalisasi tanda-tangan saja. Dimana dalam legalisasi tanda-tangan tersebut notaris tidak membacakan isi dokumen/surat dimaksud, yang kadang-kadang disebabkan oleh beberapa hal, misalnya: notaris tidak mengerti bahasa dari dokumen tersebut (contohnya: dokumen yang ditulis dalam bahasa mandarin atau bahasa lain yang tidak dimengerti oleh notaris yang bersangkutan) atau notaris tidak terlibat pada saat pembahasan dokumen di antara para pihak yang bertanda-tangan.
2. Register (Waarmerking)
Artinya, dokumen/surat yang bersangkutan di daftar dalam buku khusus yang dibuat oleh Notaris. Biasanya hal ini ditempuh apabila dokumen/surat tersebut sudah ditanda-tangani terlebih dahulu oleh para pihak, sebelum di sampaikan kepada notaris yang bersangkutan.
Contohnya: Surat Perjanjian Kerjasama tertanggal 1 Januari 2008 yang ditanda-tangani oleh Tuan A dan Tuan B. Jika hendak di legalisir oleh Notaris pada tanggal 18 Januari 2008, maka bentuknya tidak bisa legalisasi biasa, melainkan hanya bisa didaftar (waarmerking) saja.
Jika ditinjau dari sudut kekuatan hukumnya untuk pembuktian, maka tentu saja lebih kuat Legalisasi daripada Register (waarmerking). Ada dokumen-dokumen tertentu yang akan digunakian sebagai kelengkapan suatu proses mutlak diminta harus dilegalisir, misalnya: di kantor Pertanahan, surat persetujuan dari ahli waris untuk menjaminkan tanah dan bangunan, atau surat persetujuan isteri untuk menjual tanah yang terdaftar atas
nama suaminya dan lain sebagainya. Kalau surat/dokumen tersebut tidak dilegalisir oleh notaris, maka biasanya dokumen tersebut tidak dapat diterima sebagai kelengkapan proses Hak Tanggungan atau jual beli yang dimaksud. Terpaksa pihak yang bersangkutan harus membuat ulang persetujuan dan melegalisirnya di hadapan notaris setempat.
1. Legalisasi
Artinya, dokumen/surat yang dibuat di bawah tangan tangan tersebut ditanda-tangani di hadapan notaris, setelah dokumen/surat tersebut dibacakan atau dijelaskan oleh Notaris yang bersangkutan. Sehingga tanggal dokumen atau surat yang bersangkutan adalah sama dengan tanggal legalisasi dari notaris. Dengan demikian, notaris menjamin keabsahan tanda-tangan dari para pihak yang dilegalisir tanda-tangannya, dan pihak (yang bertanda-tangan dalam dokumen) karena sudah dijelaskan oleh notaris tentang isi surat tersebut, tidak bisa menyangkal dan mengatakan bahwa ybs tidak mengerti isi dari dokumen/surat tersebut.
Untuk legalisasi ini, kadang dibedakan oleh notaris yang bersangkutan, dengan Legalisasi tanda-tangan saja. Dimana dalam legalisasi tanda-tangan tersebut notaris tidak membacakan isi dokumen/surat dimaksud, yang kadang-kadang disebabkan oleh beberapa hal, misalnya: notaris tidak mengerti bahasa dari dokumen tersebut (contohnya: dokumen yang ditulis dalam bahasa mandarin atau bahasa lain yang tidak dimengerti oleh notaris yang bersangkutan) atau notaris tidak terlibat pada saat pembahasan dokumen di antara para pihak yang bertanda-tangan.
2. Register (Waarmerking)
Artinya, dokumen/surat yang bersangkutan di daftar dalam buku khusus yang dibuat oleh Notaris. Biasanya hal ini ditempuh apabila dokumen/surat tersebut sudah ditanda-tangani terlebih dahulu oleh para pihak, sebelum di sampaikan kepada notaris yang bersangkutan.
Contohnya: Surat Perjanjian Kerjasama tertanggal 1 Januari 2008 yang ditanda-tangani oleh Tuan A dan Tuan B. Jika hendak di legalisir oleh Notaris pada tanggal 18 Januari 2008, maka bentuknya tidak bisa legalisasi biasa, melainkan hanya bisa didaftar (waarmerking) saja.
Jika ditinjau dari sudut kekuatan hukumnya untuk pembuktian, maka tentu saja lebih kuat Legalisasi daripada Register (waarmerking). Ada dokumen-dokumen tertentu yang akan digunakian sebagai kelengkapan suatu proses mutlak diminta harus dilegalisir, misalnya: di kantor Pertanahan, surat persetujuan dari ahli waris untuk menjaminkan tanah dan bangunan, atau surat persetujuan isteri untuk menjual tanah yang terdaftar atas
nama suaminya dan lain sebagainya. Kalau surat/dokumen tersebut tidak dilegalisir oleh notaris, maka biasanya dokumen tersebut tidak dapat diterima sebagai kelengkapan proses Hak Tanggungan atau jual beli yang dimaksud. Terpaksa pihak yang bersangkutan harus membuat ulang persetujuan dan melegalisirnya di hadapan notaris setempat.
“Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh” (JohnGray)
Pembaca, hidup memang tidak lepas dari berbagai tekanan. Lebih-lebih,hidup di alam modern ini yang menyuguhkan beragam risiko. Sampai seorang sosiolog
Ulrich Beck menamai jaman kontemporer ini dengan masyarakat risiko (risk society). Alam modern menyuguhkan perubahan cepat dan tak jarang mengagetkan.
Nah, tekanan itu sesungguhnya membentuk watak, karakter, dan sekaligus menentukan bagaimana orang bereaksi di kemudian hari.
Pembaca, pada kesempatan ini, saya akan memaparkan 4(empat) tipe orang dalam menghadapi berbagai tekanan tersebut. Mari kita bahas satu demi satu
tipe manusia dalam menghadapi tekanan hidup ini.
1. Tipe Kayu Rapuh
Sedikit tekanan saja membuat manusia ini patah arang. Orang macam ini kesehariannya kelihatan bagus. Tapi, rapuh sekali di dalam
hatinya. Orang ini gampang sekali mengeluh pada saat kesulitan terjadi. Sedikit kesulitan menjumpainya, orang ini langsung mengeluh, merasa
tak berdaya, menangis, minta dikasihani atau minta bantuan. Orang ini perlu berlatih berpikiran positif dan berani menghadapi kenyataan hidup.
Majalah Time pernah menyajikan topik generasi kepompong (cacoon generation). Time mengambil contoh di Jepang, di mana banyak
orang menjadi sangat lembek karena tidak terbiasa menghadapi kesulitan.
Menghadapi orang macam ini, kadang kita harus lebih berani tega. Sesekali mereka perlu belajar dilatih menghadapi kesulitan.
Posisikan kita sebagai pendamping mereka.
2. Tipe Lempeng Besi
Orang tipe ini biasanya mampu bertahan dalam tekanan pada awalnya. Namun seperti layaknya besi, ketika situasi menekan itu semakin besar dan
kompleks, ia mulai bengkok dan tidak stabil. Demikian juga orang-orang tipe ini. Mereka mampu menghadapi tekanan, tetapi tidak dalam kondisi berlarut-larut.
Tambahan tekanan sedikit saja, membuat mereka menyerah dan putus asa. Untungnya, orang tipe ini masih mau mencoba bertahan sebelum
akhirnya menyerah. Tipe lempeng besi memang masih belum terlatih. Tapi, kalau mau berusaha, orang ini akan mampu membangun kesuksesan dalam hidupnya.
3. Tipe Kapas
Tipe ini cukup lentur dalam menghadapi tekanan. Saat tekanan tiba, orang mampu bersikap fleksibel. Cobalah Anda menekan sebongkah kapas.
Ia akan mengikuti tekanan yang terjadi.
Ia mampu menyesuaikan saat terjadi tekanan. Tapi, setelah berlalu, dengan cepat ia bisa kembali ke keadaan semula. Ia bisa segera melupakan
masa lalu dan mulai kembali ke titik awal untuk memulai lagi.
4. Tipe Bola Pingpong
Inilah tipe yang ideal dan terhebat. Jangan sekali-kali menyuguhkan tekanan pada orang-orang ini karena tekanan justru akan membuat
mereka bekerja lebih giat, lebih termotivasi, dan lebih kreatif.
Coba perhatikan bola pingpong. Saat ditekan, justru ia memantuk ke atas dengan lebih dahsyat. Saya teringat kisah hidup motivator dunia
Anthony Robbins dalam salah satu biografinya.
Untuk memotivasi dirinya, ia sengaja membeli suatu bangunan mewah, sementara uangnya tidak memadai. Tapi, justru tekanan keuangan
inilah yang membuat dirinya semakin kreatif dan tertantang mencapai tingkat finansial yang diharapkannya.
Contoh :
Hal ini pernah terjadi dengan seorang kepala regional sales yang performance- nya bagus sekali. Bangun Network
Tetapi, hasilnya ini membuat atasannya tidak suka. Akibatnya, justru dengan sengaja atasannya yang kurang suka kepadanya memindahkannya ke daerah
yang lebih parah kondisinya. Tetapi, bukannya mengeluh seperti rekan sebelumnya di daerah tersebut. Malahan, ia berusaha membangun netwok, mengubah
cara kerja, dan membereskan organisasi. Di tahun kedua di daerah tersebut, justru tempatnya berhasil masuk dalam daerah tiga top sales.
Contoh lain adalah novelis dunia Fyodor Mikhailovich Dostoevsky.
Pada musim dingin, ia meringkuk di dalam penjara dengan deraan angina dingin, lantai penuh kotoran seinci tebalnya, dan kerja paksa tiap
hari. Ia mirip ikan herring dalam kaleng. Namun, Siberia yang beku tidak berhasil membungkam kreativitasnya.
Dari sanalah ia melahirkan karya-karya tulis besar, seperti The Double dan Notes of The Dead. Ia menjadi sastrawan dunia.
Hal ini juga dialami Ho Chi Minh.
Orang Vietnam yang biasa dipanggil Paman Ho ini harus meringkuk dalam penjara. Tapi, penjara tidaklah membuat dirinya patah arang. Ia
berjuang dengan puisi-puisi yang ia tulis. A Comrade Paper Blanket menjadi buah karya kondangnya.
Ah itu kan contoh kejadian di luar negeri . . . mungkin demikian pertanyaan anda. Seorang rekan yang bekerja di sebuah perusahaan otomotif
terbesar di Indonesia dikucilkan bahkan dibuang kecabang nun jauh dari kantor pusat oleh si Boss yang seorang wanita . Namun dengan motivasi kuatnya
dia berhasil ” ditarik ” kembali ke kantor pusat dan malah bertugas ” meng ” guide ” departemen sang Boss untuk beberapa materi development dengan
ilmu yang dimilikinya .
Sekarang sang rekan malah sudah menduduki posisi puncak dengan wewenang diatas sang boss yang mengucilkannya , walaupun di perusahaan
otomotif kompetitor.
Nah, pembaca, itu hanya contoh kecil. Yang penting sekarang adalah Anda. Ketika Anda menghadapi kesulitan, seperti apakah diri Anda?
Bagaimana reaksi Anda? Tidak menjadi persoalan di mana Anda saat ini.
Tetapi, yang penting bergeraklah dari level tipe kayu rapuh ke tipe selanjutnya. Hingga akhirnya, bangun mental Anda hingga ke level
bola pingpong.
Saat itulah, kesulitan dan tantangan tidak lagi menjadi suatu yang mencemaskan untuk Anda.
Sekuat itukah mental Anda?
*dapat dari teman dari komunitas penulis via email
Kamis, 04/10/2012 | 11:58 WIB JAKARTA-
Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesa (Apersi) akhirnya
tersenyum lebar. Pasalnya gugatan mereka soal penghapusan pasal 22 ayat 3 UU
Perumahan dan Kawasan Pemukiman dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Dengan demikian mereka memiliki kewajiban lagi untuk membangun rumah minimal 36
m2.
Keputusan MK ini akan berdampak pada masyarakat bisa menikmati subsidi rumah dengan luas di bawah 36 m2. Pemenuhan gugatan pencabutan pasal 22 ayat 3 ini dibacakan dalam putusan MK yang diketuai oleh Mahfud MD. "Dengan ini memutuskan untuk menyetujui pemohon untuk batasan rumah tapak dan deret minimal tipe 36 m2 UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman," kata Mahfud di kantor MK, Jakarta, Rabu (3/10).
Atas putusan ini, masyarakat berpenghasilan rendah bisa membeli rumah dibawah tipe 36 m2 dan mendapatkan subsidi dari pemerintah melalui program fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP).
Ketua DPD Apersi Eddy Ganefo menegaskan, putusan MK ini adalah kemenangan rakyat Indonesia, bukan Apersi. Hal ini karena masyarakat yang memiliki kemampuan membeli rumah di bawah tipe 36 m2, bisa terakomodasi. "Masyarakat yang bisa beli di bawah 36 m2 masih banyak. Dengan putusan ini maka mereka bisa menikmati subsidi," tambahnya.
Kuasa hukum Apersi M. Joni menuturkan, keputusan MK adalah tepat karena UU. No 1/2011 telah melanggar konstitusi khususnya meniadakan hak orang untuk memperoleh rumah. "Melanggar konstitusi pasal 28 ayat 1 bahwa setiap orang berhak atas, salah satunya, tempat tinggal," kata Joni.
Apersi yakin stok rumah tipe di bawah 36 m2 yang sebelumnya tertahan tak bisa dibangun bakal laris diburu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Eddy Ganefo mengatakan sebanyak 10.000 rumah siap terserap pasar dari total 20.000 unit yang kini tersedia. "Dengan ini (putusan MK) tipe dibawah 36 m2 akan terserap. Saat ini total yang sudah siap jual 20.000 unit dan sampai tiga bulam ke depan, saya yakin 10.000 unit akan terjual," katanya seperti dilansir detik.
Eddy yakin tidak semua masyarakat mampu membeli rumah tipe 36 m2 dan di atasnya, hingga penting bagi Apersi memohon peninjauan hukum terhadap UU No 1 Tahun 2011.
Dalam UU tersebut sebelumnya memang mengatur batas minimal luas lantai rumah tunggal dan rumah deret, paling sedikit 36 meter persegi. Dengan hadirnya UU yang menghapus tipe 21, maka rumah yang dibangun pengembang hanya tipe 36 ke atas. Padahal saat ini rumah tipe 36 harganya umumnya di atas Rp 70 juta. Hal ini mendorong pengembang yang tergabung dalam Apersi mengajukan judicial review.
"Dengan adanya UU ini membatasi kemampuan rakyat membeli rumah. Sebelum ada UU ini rakyat bisa membeli rumah dengan tipe 21. Jadi sekarang ada selisih 15 meter. Katakanlah harga pokok per meter Rp 1 juta, itu belum level jual. Padahal data BPS terdapat 13,6 juta rakyat yang tidak mampu membeli rumah. Dengan adanya UU ini Pemda tidak berani mengeluarkan IMB di bawah tipe 36," kata pemohon mewakili Apersi Echsanullah waktu itu. dtc
sumber : surabayapost.online
Keputusan MK ini akan berdampak pada masyarakat bisa menikmati subsidi rumah dengan luas di bawah 36 m2. Pemenuhan gugatan pencabutan pasal 22 ayat 3 ini dibacakan dalam putusan MK yang diketuai oleh Mahfud MD. "Dengan ini memutuskan untuk menyetujui pemohon untuk batasan rumah tapak dan deret minimal tipe 36 m2 UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman," kata Mahfud di kantor MK, Jakarta, Rabu (3/10).
Atas putusan ini, masyarakat berpenghasilan rendah bisa membeli rumah dibawah tipe 36 m2 dan mendapatkan subsidi dari pemerintah melalui program fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP).
Ketua DPD Apersi Eddy Ganefo menegaskan, putusan MK ini adalah kemenangan rakyat Indonesia, bukan Apersi. Hal ini karena masyarakat yang memiliki kemampuan membeli rumah di bawah tipe 36 m2, bisa terakomodasi. "Masyarakat yang bisa beli di bawah 36 m2 masih banyak. Dengan putusan ini maka mereka bisa menikmati subsidi," tambahnya.
Kuasa hukum Apersi M. Joni menuturkan, keputusan MK adalah tepat karena UU. No 1/2011 telah melanggar konstitusi khususnya meniadakan hak orang untuk memperoleh rumah. "Melanggar konstitusi pasal 28 ayat 1 bahwa setiap orang berhak atas, salah satunya, tempat tinggal," kata Joni.
Apersi yakin stok rumah tipe di bawah 36 m2 yang sebelumnya tertahan tak bisa dibangun bakal laris diburu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Eddy Ganefo mengatakan sebanyak 10.000 rumah siap terserap pasar dari total 20.000 unit yang kini tersedia. "Dengan ini (putusan MK) tipe dibawah 36 m2 akan terserap. Saat ini total yang sudah siap jual 20.000 unit dan sampai tiga bulam ke depan, saya yakin 10.000 unit akan terjual," katanya seperti dilansir detik.
Eddy yakin tidak semua masyarakat mampu membeli rumah tipe 36 m2 dan di atasnya, hingga penting bagi Apersi memohon peninjauan hukum terhadap UU No 1 Tahun 2011.
Dalam UU tersebut sebelumnya memang mengatur batas minimal luas lantai rumah tunggal dan rumah deret, paling sedikit 36 meter persegi. Dengan hadirnya UU yang menghapus tipe 21, maka rumah yang dibangun pengembang hanya tipe 36 ke atas. Padahal saat ini rumah tipe 36 harganya umumnya di atas Rp 70 juta. Hal ini mendorong pengembang yang tergabung dalam Apersi mengajukan judicial review.
"Dengan adanya UU ini membatasi kemampuan rakyat membeli rumah. Sebelum ada UU ini rakyat bisa membeli rumah dengan tipe 21. Jadi sekarang ada selisih 15 meter. Katakanlah harga pokok per meter Rp 1 juta, itu belum level jual. Padahal data BPS terdapat 13,6 juta rakyat yang tidak mampu membeli rumah. Dengan adanya UU ini Pemda tidak berani mengeluarkan IMB di bawah tipe 36," kata pemohon mewakili Apersi Echsanullah waktu itu. dtc
sumber : surabayapost.online