Belajar Permakultur bersama Teh Nana, Founder Bandung Permaculture

April 06, 2020


Akhirnya malam ini saya bisa menuangkan beberapa poin penting ilmu basic seputar permaculture yang dibagikan oleh Teh Nana sebagai pondasi dalam mereset mindset bertanam secara permaculture. Teh Nana adalah founder Bandung Permaculture (urban permaculture), Permaculture Living Initiative In Indonesia (community permaculture), Agra Permaculture (Agroforestry). Beliau sendiri mempelajari permaculture sudah lebih dari 10 tahun yang lalu di Eropa dan Amerika saat menjadi engineer di sana dan menerapkannya di Indonesia. Jadi materi/knowledge yang dibagikan murni berasal dari pengalaman belajar dan aplikasi baik di urban, rural maupun forest. Ketika mendapat informasi melalui IG Bandung Permaculture akan mengadakan kelas online saya merasa bersemangat sekali ingin tahu seputar permakultur. Berawal dari tayangan di bumiku satu, DAAI TV yang menayangkan kegiatan di kebun bandung permaculture saya semakin tertarik dan meletakkan mimpi besar ingin bercocok tanam permaculture jika suami sudah homebase.

Buat yang masih bingung apa itu permakultur? Permakultur merupakan kata serapan yang disadur dari bahasa Inggris, yaitu Permaculture, sebagai singkatan dari permanent agriculture. Artinya, pertanian dengan tatanan kehidupan yang lestari, terus menerus, dan permanen. Maka dari itu, permakultur memegang erat prinsip keseimbangan dan berkelanjutan (sustainability) .

Permakultur memiliki konsep yang serupa dengan konsep pertanian terpadu dan pertanian organik, namun permakultur memberi penekanan pada desain, perencanaan pertanian dan integrasinya dengan implementasi berupa praktek pertanian. Permakultur berangkat dari pemikiran Bill Mollison “bekerjalah dengan alam, bukan melawannya”. Manusia berperan sebagai desainer untuk kehidupannya sendiri dan memiliki tanggung jawab terhadap masa depannya dan bumi. Prinsip utamanya adalah bertanggung jawab akan eksistensi manusia dan keturunannya, termasuk menjaga keberlangsungan puspa, satwa, dan makhluk hidup lainnya.

Kalau ditanya kapan pertama kali tahu tentang permakultur, saya dulu sekali pernah membaca dan tertarik ingin belajar di Bumi Langit Institut Jogja. Dari situlah saya mengenal sedikit informasi tentang permakultur. Nah, ketika kemarin mendapat kesempatan belajar secara cuma-cuma bersama teh Nana rasanya bak pucuk dicita ulam pun tiba. Semangat untuk kembali ke kebon menggelora sekali. Sebelum dijelaskan oleh Teh Nana saya pun sempat berpikir 'ah, ini kan sistem bertanam yang permanen harus nunggu ada lahan dulu dong'. Namun, kekhawatiran menjadi hilang satu persatu setelah diyakinkan bahwa jumlah lahan yang dimiliki bukan lagi menjadi masalah dan batasan bagi orang yang ingin mencoba permakultur secara mandiri, karena masih banyak cara yang dapat digunakan untuk memperluas bidang tanam, seperti melalui teknik taman vertikal maupun akuaponik. Media penanaman alternatif masih bisa dilakukan dengan memanfaatkan dinding, pagar, dan atap bangunan, sehingga tidak selalu membutuhkan hamparan yang luas dalam mewujudkan permakultur. Seperti kondisi saya saat ini yang sering berpindah domisili apa iya saya harus menunggu untuk pulang kampung baru mulai melakukan kegiatan bertanam, sedangkan saya dan keluarga kan butuh makan terutama  'sayur'. Justru di tanah rantau ini saya merasa bertanam itu sebuah kebutuhan karena di pesisir variasi sayur tidaklah banyak. Apalagi kalau harus mencari mpon-mpon untuk pelengkap masakan khas jawa. So, bismillah here we go...semoga meski dengan lahan kecil di sebelah rumah saya dapat menerapkan urban permaculture skala rumah tangga, meminimalkan sampah dan mengelola segalanya dari rumah. 


Etika Permakultur, Fondasi yang Harus Meresap di Hati

Etika permakultur sendiri terdiri dari tiga, yaitu care for Earth (peduli terhadap Bumi), care for people (peduli terhadap manusia), dan fair share (berbagi adil). Jika ketiga etika tersebut diterapkan oleh kita terhadap lingkungan dan sesamanya yang membentuk tatanan kehidupan harmonis, adil dan berkelanjutan. Etika  permakultur mengatur pemerataan hasil yang dikonsumsi dan pengembalian ke alam agar bermanfaat bagi kehidupan kini dan mendatang. Bahkan, di dalam perspektif islam manusia dan lingkungan memiliki relasi yang sangat erat. Allah telah menciptakan alam ini termasuk di dalamnya manusia dan lingkungan dalam keseimbangan dan keserasian. Keseimbangan dan keserasian ini harus dijaga agar tidak mengalami kerusakan. Kelangsungan kehidupan di alam ini pun saling terkait yang apabila salah satu komponen mengalami gangguan maka akan berpengaruh terhadap komponen yang lain. MasyaAllah.


Refleksi Diri Tentang Carbon FootPrints

Saya tersentil dengan permasalahan jejak karbon saat mengikuti kelas belajar zerowaste bersama ibu DK Wardhani. Ketika ibu menjelaskan secara detil apa dan bagaimana jejak karbon serta efeknya pada ibu bumi saya serasa dibangunkan dari tidur panjang. Meskipun sudah mulai coba-coba untuk menerapkan gaya hidup yang lebih hijau dan minimalis namun kondisi saya yang tinggal di kota Batam kala itu membuat saya terlena. Segala kemudahan ketika tinggal di Batam membuat saya terkadang abai terhadap beberapa hal-hal kecil seperti penghematan air dan listrik. Namun, setelah pindah ke Tanjungpinang upaya untuk hidup lebih bersahabat dengan alam sangat terfasilitasi, alhamdulillah. Baru pindah beberapa bulan ke kota kecil nan asri ini jejak karbon saya berkurang sebesar 138, 298. 45 gramCO2-ek, sebuah kemajuan yang patut diapresiasi. Semenjak tinggal di Tanjungpinang, pemakaian AC jauh berkurang karena kami tinggal di kampung yang masih asri. Kiri kanan rumah saya dinaungi pohon ketapang, kelapa dan nangka. Pengeluaran listrik untuk AC pun bisa ditekan. Kami pun kembali mandi menggunakan air sumur karena tidak ada layanan dari PAM yang masuk ke kampung kami. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari biasanya saya jalan kaki ke ujung gang untuk membeli beberapa sayur yang tidak ada di rumah. Biasanya pagi-pagi akan banyak nelayan yang menawarkan ikan atau seafood hasil tangkapan semalam. Kalau mereka tidak datang, kami punya peliharaan ikan lele yang bisa diambil beberapa ekor setiap akan masak. MasyaAllah...serasa mimpi bisa tinggal di pulau ini. Jangan dibayangkan ada indomaret alfamaret seperti di kota-kota, kalau kami ingin belanja bulanan ya harus ke tengah kota yang ada swalayan lokal. Namun, saya bersyukur sekali karena kebutuhan kami disini sudah tidak macam-macam, sederhana dan membuat semakin bersyukur. Sudah tidak ada lagi keinginan untuk beli yang macam-macam. Segala kebutuhan rumah sebisa mungkin kami beli barang seken dari Singapura yang banyak beredar disini. Lalu, hiburan kita apa disini? Banyak event olahraga seperti lari, triathlon, event pasar warisan khas kepulauan riau, lomba perahu jong, dan banyak tempat wisata lokal punya yang tentunya tidak kalah menarik. Jadi, kalau mau membuat perubahan besar bukankah dimulai Aa Gym mengatakan, “Mulai dari kecil, mulai dari sekarang.” 


Aplikasi Etika Permakultur dalam Keseharian

Permakultur menawarkan teknik dan gagasan yang membantu kita menuju ke arah lingkungan, budaya, dan masyarakat yang sehat. Secara tidak langsung ternyata keluarga kami sudah memiliki kesadaran menuju kesana. Etika dan prinsip permakultur berbicara tentang tangggung jawab terhadap kehidupan kita sendiri, lingkungan kita, dan masa depan. Juga membantu kita merencanakan masa depan yang aman bagi keluarga, alam, dan budaya kita.

Iya, tidak sekadar produksi pangan, bangunan yang lebih hemat energi, mulai mengolah air limbah, belajar mendaur ulang, mengurangi jejak karbon dengan berusaha mengolah tanah dan menanam sendiri kebutuhan dapur (meski baru sedikit). Ah, sungguh perjalanan panjang menuju hidup permanen. Semoga saya dan keluarga bisa menjadi pribadi yang lebih bijak lagi dalam menjalani hidup di bumi. Salam back to nature 🍃











You Might Also Like

0 komentar