trafficking

Oktober 12, 2009

UPAYA PERLINDUNGAN KORBAN TERHADAP PERDAGANGAN
PEREMPUAN (TRAFFICKING) DI INDONESIA

Abstrak
Perdagangan orang yang menjadi korban rentan terhadap perempuan. Korban perdagangan perempuan biasanya terjadi diawali dengan penipuan, kemudian diperlakukan tidak manusiawi dan dieksploitasi. Bentuk eksploitasi di antaranya korban bekerja yang mengarah kepada praktek seksual, perbudakan, dan perbuatan transplantasi organ tubuh sampai pada penjualan bayi dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan.
Dengan latar belakang permasalahan tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana upaya perlindungan korban terhadap perdagangan perempuan dan faktor apa yang menyebabkan terjadinya perdagangan perempuan terjadi, serta bagaimana perlindungan hukum terhadap korban?
Penulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang perlindungan korban perdagangan perempuan, yang berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan. Dan diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat luas dan instansi terkait bahwa perdagangan orang (perempuan) merupakan perbuatan tindak pidana. Penulisan ini dilakukan secara deskriptif dengan pendekatan normatif.
Hasil penulisan ini yaitu bahwa perlindungan korban ada beberapa bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu pemberian restitusi, kompensasi, rehabilitasi, layanan konseling, bantuan hukum. Faktor yang menyebabkan terjadi perdagangan perempuan dan berkembang adalah: ekologis, ekonomi, budaya dan penegakan hukum, dan berkembangnya atau meningkatnya tindak pidana perdagangan orang karena unsur-unsur pola serta jaringan kejahatan sehingga dapat menunjukkan bahwa sistem hukum tidak mampu untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut. Upaya perlindungan hukum yaitu Undang- Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban termasuk peraturan baru sehingga belum terlihat efektifitas peraturan tersebut.

A. PENDAHULUAN
Perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi banyak perhatian baik tingkat Asia maupun tingkat dunia. Perdagangan perempuan di Indonesia, terjadi tidak hanya menyangkut di dalam Negara Indonesia saja yaitu misalnya perdagangan orang antar pulau tetapi perdagangan orang antar Negara, yaitu Indonesia dengan Negara-negara lain. Maraknya issue perdagangan perempuan diawali dengan meningkatnya pencari kerja baik laki-laki maupun perempuan bahkan anak-anak untuk bermigrasi ke luar daerah sampai ke luar negeri. Seiring dengan mencari pekerjaan mereka rentan terjebak dalam perdagangan perempuan. Dilihat dari awalnya mencari pekerjaan, maka faktor penyebab yang mendorong terjadinya perdagangan perempuan adalah faktor kemiskinan, ketidaktersediaan lapangan kerja, perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi.
Perdagangan perempuan tidak hanya terjadi di Indonesia saja sebagai Negara berkembang, melainkan juga di alami oleh negara berkembang lainnya seperti Vietnam, Srilangka, Thailand dan Philipina. Hal ini merupakan akibat ketidakpastian dan ketidak mampuan menghadapi persaingan bebas dari konsep liberalisme ekonomi di era globalisasi, yang mempunyai dampak cukup kompleks terutama terhadap peningkatan peran dan kedudukan perempuan dalam bidang ekonomi baik tingkat nasional maupun internasional. Pada tingkat dunia, perdagangan perempuan terkait erat dengan kriminalitas transnasional dan dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan merendahkan martabat bangsa dan Negara serta merupakan kejahatan kemanusiaan karena memperlakukan korban semata sebagai komoditi yang dibeli, dijual, dikirim dan dijual kembali. (Laporan Dunia IV tentang Perempuan dan Pembangunan (1999).
Faktor kemiskinan dan tidak tersedianya lapangan kerja di pedesaan telah mendorong pencari kerja baik laki-laki maupun perempuan dan bahkan anak-anak untuk berimigrasi ke luar daerah sampai ke luar negeri guna mencari pekerjaan.
Dari faktor ini di tambah pendidikan dan keterbatasan informasi yang dimiliki sehingga menyebabkan mereka rentan terjebak dalam perdagangan orang. Korban perdagangan orang pada umumnya terjadi pada perempuan dan anak-anak karena merekalah kelompok yang sering menjadi sasaran dan dianggap paling rentan. Sebab korban perdagangan perempuan biasanya terjadi diawali dengan penipuan, kemudian diperlakukan tidak manusiawi dan dieksploitasi.
Bentuk eksploitasi diantaranya korban bekerja yang mengarah kepada praktek seksual, perbudakan, dan perbuatan transplantasi organ tubuh sampai pada penjualan bayi dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Kasus Perdagangan perempuan di Indonesia, terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bali, Medan, Padang, Pontianak, Makasar dan Menado.
Dengan semakin menunjukan kecenderungan terus meningkat kasus perdagangan perempuan, maka perlu upaya penanggulangan masalah perdagangan perempuan. Adapun Economy and Social Commision an Asia Pasific (ESCAP) melaporkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga atau terendah dalam upaya penanggulanggan masalah perdagangan perempuan, sehingga Indonesia diasumsikan sebagai Negara yang tidak sungguh-sungguh menangani masalah ini, karena pada saat itu belum memiliki perangkat perundang-undangan yang dapat mencegah, melindungi dan menolong korban, serta tidak memiliki perundang-undangan untuk melakukan penghukuman pelaku perdagangan orang. Meskipun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hanya satu Pasal 297 yang mengatur secara eksplisit tentang perdagangan perempuan dan anak laki-laki, tetapi ancaman hukumannya masih ringan. Perdagangan anak juga telah diatur dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak.
Oleh karena itu, maka perlu ada peraturan yang khusus tentang perdagangan perempuan dan mencantumkan perlindungan terhadap korban perdagangan orang. Perdagangan orang (perdagangan perempuan) adalah menyangkut hubungan perilaku manusia, sebagaimana tercantum dalam tema, maka judul penulisannya adalah “Upaya Perlindungan Korban Terhadap Perdagangan Perempuan Di Indonesia”. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu di adakan studi pustaka tentang bagaimana upaya perlindungan korban terhadap perdagangan perempuan Di Indonesia”,dengan harapan dapat meminimalisir korban dari kejahatan perdagangan perempuan Di Indonesia, sehingga korban mendapatkan haknya untuk dilindungi.
Adapun tujuan penulisan yaitu untuk memberikan informasi tentang perlindungan korban perdagangan perempuan, yang berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan. Dan diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat luas dan instansi terkait bahwa perdagangan orang (perempuan) merupakan perbuatan tindak pidana.

B. KERANGKA BERFIKIR
Kata perlindungan merupakan upaya menempatkan seseorang diberikan kedudukan istimewa. Sedangkan korban pada dasarnya adalah orang, baik sebagai individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai sasaran dari kejahatan. Jadi yang dimaksud perlindungan korban adalah segala pemberian bantuan untuk memberikan sara aman kepada korban dan segala upaya untuk mengembalikan kepada keadaan semula, yaitu dikembali keadaan korban sebelum menjadi korban. Menurut M. Solli Lubis, perlindungan hukum berarti perlindungan yang diberikan melalui hukum (rechts bescherming, legal protection) terhadap status (kedudukan) ataupun hak, misalnya hak memilih, hak dipilih, hak berusaha, atau hak khusus sebagai warga Negara sebagai penduduk Negara, rakyat dan sebagainya. (Andi Indrianti Arief, 1995, hal.2)
Secara konstitusional Negara wajib menyelenggarakan perlindungan bagi warga negaranya. Sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, salah satu tujuan pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perlunya diberikan perlindungan hukum bagi korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional. Oleh karena itu, masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius. Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh PBB, sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention of
Crime and The treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia, September 1985. Salah satu rekomendasinya yaitu bentuk perlindungan yang diberikan mengalami perluasan tidak hanya ditujukan bagi korban kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dalam memberikan perlindungan bagi korban, hal ini tidak lepas dari masalah keadilan dan hak asasi manusia, di mana banyak peristiwa yang ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, oleh karena itu perlu perhatian dari pemerintah secara serius, dan memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan dalam upaya menegakan hukum. Meskipun secara jelas falsafah hidup bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pancasila Sila ke dua yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Sila ke lima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting karena masyarakat baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban kejahatan. dan hal ini merupakan bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.
Pertumbuhan dan perkembangan kejahatan tidak terlepas dari korban. Korban tidak saja dipahami sebagai objek dari suatu kejahatan, akan tetapi dipahami sebagai subjek yang perlu mendapat perlindungan baik secara sosial dan hukum. Pada dasarnya korban adalah orang, baik sebagai individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai sasaran dari kejahatan. Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban kejahatan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan. Walaupun yang disebut terakhir lebih banyak merupakan persoalan perdata, pihak yangndirugikan tetap saja termasuk dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian baik secara materiil maupun secara mental.
Adapun pengertian korban kejahatan berdasarkan deklarasi PBB dalam “Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power 1985” pada angka 1 disebutkan bahwa korban kejahatan adalah :
“Victims means person who, individually or collectively, heve suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their fundamental right, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member state, including those laws proscribing criminal abuse of power”.
Sejalan dengan pengertian di atas, (Arif Gosita, 1993) memberikan pengertian korban adalah :
“Mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang dirugikan”.
Sedangkan (Muladi, 1992) mengatakan bahwa : “Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.”
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat: Korban adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan pihak manapun.
Terminologi istilah perdangan orang (perdagangan perempuan) termasuk hal yang baru di Indonesia. Fenomena tentang perdagangan orang telah ada sejak tahun 1949 yaitu sejak ditandatangani Convention on Traffic in Person.
Hal ini kemudian berkembang ketika banyak laporan tentang terjadinya tindakan perdagangan perempuan pada Beijing Plat Form of Action yang dilanjutkan dengan Convention on Elimination of All Form of Descrimination Agains Women (CEDAW) dan telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan segala Bentuk Deskriminasi terhadap Perempuan. Kemudian dipertegas dalam agenda Global Alliance Agains Traffic in Women (GAATW) di Thailand tahun 1994.
Definisi tentang perdagangan perempuan menurut GAATW adalah : “Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, tranportasi di dalam atau melintas perbatasan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan termasuk penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan atau penyalahgunaan kekerasan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik, seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi seperti perbudakan di dalam suatu lingkungan lain dari tempat di mana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali”. PBB dalam siding umum tahun 1994 menyetujui resolusi menentang perdagangan perempuan dan anak perempuan, memberikan definisi sebagai berikut: “Permindahan orang melewati batas nasional dan internasional secara gelap dan melanggar hukum, terutama dari Negara berkembang dan dari Negara dalam transisi ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi penindasan dan eksploitasi secara seksual dan ekonomi, sebagaimana juga tindakan illegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan manusia seperti pekerja paksa domestik, kawin palsu, pekerja gelap dan adopsi palsu demi kepentingan perekrutan, perdagangan dan sindikat kejahatan”. Definisi lain yang secara substansial lebih rinci dan operasional dikeluarkan oleh PBB dalam protokol yaitu Protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan anak-anak. Tambahan untuk konvensi PBB menentang Kejahatan Teroganisasi Transnasional tahun 2000 menyebutkan definisi perdagangan yang paling diterima secara umum dan digunakan secara luas. Pasal 3 protokol ini menyatakan sebagai berikut :
a. Perdagangan Manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, baik di bawah ancaman atau secara paksa atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan atau penyalahgunaan wewenang atau situasi retan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki control atas orang lain untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang lain, kerja paksa atau wajib kerja paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh;
b. Persetujuan korban perdagangan manusia atau eksploitasi yang dimaksud dalam ayat (a) pasal ini menjadi tidak relevan ketika cara-cara yang disebutkan pada ayat(a) digunakan ;
c. Perekrutan, pengangkutan, pemindahan dan penampungan atau penerimaan anak-anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai perdagangan manusia walaupun ketika hal ini tidak melibatkan cara-cara yang disebutkan dalam ayat (a) pasal ini;
d. Anak-anak adalah seseorang yang berusia kurang dari 18 tahun. Sejak disyahkannya Undang- Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu bulan April 2007, maka yang dimaksud dengan perdagangan orang termasuk perdagangan perempuan adalah: Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Pengertian perdagangang orang dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang itu tidak jauh berbeda dengan pengertian dalam protokol yang dikeluarkan oleh PBB.

You Might Also Like

0 komentar