HUKUM KELUARGA
Oktober 19, 2012
Hukum Perkawinan, Kekuasaan Orang Tua dan Wali dan Harta
Berikut adalah ringkasan hukum
perkawinan yang diuraikan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan sedikit membandingkan dengan aturan mengenai perkawinan dalam Burgerlijke
Wetboek (B.W).
Bab
|
Pengaturan Mengenai
|
Psl
|
Uraian
|
I
|
Dasar Perkawinan
|
1
|
Perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanfta sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal ini berisi tentang :
• pengertian
perkawinan. Dalam pengertian ini nampak aspek agamanya.
• tujuan
perkawinan.
Jika
dibandingkan dengan B.W., dapat dilihat bahwa B.W dalam ketentuan umumnya
(pasal 26) hanya memandang perkawinan sebagai hubungan perdata saja. Beberapa
penulis Belanda mendefinisikan bahwa perkawinan adalah persekutuan antara
seorang pria dan wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama sebagai
sekutu yang kekal.
|
|
|
2
|
Syarat sah perkawinan
(1) Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
(Sahnya
perkawinan)
(2) Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pencatatan
perkawinan) Mahkamah Agung menganut 2 pandangan mengenai permasalahan apakah
kedua ayat tersebut bersifat relatif atau kumulatif. Dalam kasus di Minang,
Mahkamah Agung memandang bahwa kedua ayat tersebut bersifat kumulatif,
sedangkan pada kasus di Bali bersifat
relatif.
|
|
|
3
|
Asas Perkawinan
(1) Pada
asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ayat ini
menunjukkan asas monogami.
(2) Pengadilan,
dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Ayat ini menunjukkan
sifat relatifnya.
|
|
|
65
|
Pasal
ini menentukan suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua istri
dan anaknya. Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta
bersana yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya
terjadi. Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi
sejak perkawinannya masing-masing.
Jadi menurut UU ini, asas yang dianut adalah asas
monogami relatif. Lain halnya dalam B.W. (pasal 27) dianut asas monogami
mutlak. Ketentuan tersebut merupakan ketetentuan ketertiban umum (openbare
orde). Menurut B.W, hal ini merupakan salah satu syarat materiil mutlak.
|
|
|
4
|
Alasan Poligami
(1) Dalam
hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut
dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan per-mohonan
kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Alasan-alasan yang dapat
diberikan izin oleh Pengadilan tersebut adalah apabila istri :
(2) a. tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. istri
mendapat cacat badan/atau penya-kit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Alasan-alasan ini bersifat relatif.
|
|
|
5
|
Syarat poligami
(1) Pengajuan permohonan suami tersebut harus
memenuhi seluruh syarat, yaitu :
a. adanya perjanjian dad istri/istri-istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
(2) Pengaturan
mengenai perjanjian dalam ayat (1) huruf a, dikecualikan terhadap istri / istri-istri
yang tidak mungkin dimintai perjanjiannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istri yang bersangkutan minimal
2 tahun, atau sebab lain yang memerlukan penilaian hakim.
|
II
|
Syarat Perkawinan
|
6
|
(1) Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai. à asas konsensuil. B.W juga mengatur pada pasal 28
dan menurut B.W. hal ini merupakan salah satu dari syarat materiil mutlak.
(2) Bagi
yang belum berusia 21 tahun harus mendapatkan izin dari orang tuanya. Dalam
B.W. (pasal 42) izin orang tua diperlukan bagi yang belum berusia 30 tahun.
(3) Izin
orang tua tersebut, jika salah satu orang tua telah meninggal atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka cukup dari orang tua yang
masih hidup atau yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Bila
kedua orang tua meninggal atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin diperlukan dari wali, orang yang memelihara keluarga
atau keluarga dalam garis keturunan ke atas yang mampu menyatakan kehendak-nya.
(5) Bila
terdapat perbedaan pendapat dari yang disebutkan dalam pasal ayat 2, 3 dan
|
|
|
|
4
atau tidak dapat menyatakan kehendak-nya, maka Pengadilan yang akan melang-sungkan
perkawinan setelah mendengar keterangan dari yang disebutkan dalam pasal ayat
2, 3 dan 4.
(6) Ketentuan
ayat 1-5 berlaku sepanjang agamanya tidak menentukan lain.
B.W. mengatur hal ini dalam pasal 35 - 49, termasuk
izin bagi anak luar kawin untuk kawin.
|
|
|
7
|
(1) Batas
minimal umur : pria 19 tahun, wanita 16 tahun.
(2) Jika
tidak, maka diperlukan dispensasi dari pengadilan yang ditunjuk oleh orang
tua kedua mempelai.
Menurut B.W. batas minimal umur untuk pria 18 tahun
dan wanita 15 tahun serta dispensasi berasal dari Presiden.
|
|
|
8
|
Larangan perkawinan yaitu antara dua orang yang :
(1) berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas
(2) berhubungan
darah dalam garis keturunan menyamping
(3) berhubungan
semenda
(4) berhubungan
susuan
(5) berhubungan
saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal
seorang suami beristri lebih dari seorang
(6) mempunyai
hubungan yang oleh agama-nya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin.
B.W. dalam pasal 30 dan 31 juga melarang perkawinan
antara mereka yang berhubungan darah, namun larangan itu tidak berlaku jika
ada dispensasi dari Presiden. Dalam pasal 32-nya melarang mereka yang telah
diputus bersalah karena berzinah melangsungkan perkawinan dengan kawan
berzinahnya.
|
|
|
9
|
Larangan Perkawinan juga bagi mereka yang masih
terikat hubungan perkawinan kecuali yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan
pasal 4.
|
|
|
10
|
Larangan perkawinan lagi bagi suami
istri yang telah cerai, menikah, kemudian cerai lagi untuk kedua kalinya.
Aturan ini berlaku sepanjang hukum agamanya tidak menentukan lain.
Pengaturan dalam pasal 33 B.W. melarang mereka yang
telah bercerai untuk menikah lagi kecuali telah lewat 1 tahun semenjak
pembubaran perkawinan mereka yang terakhir dibukukan dalam catatan sipil.
Jika mereka kemudian bercerai untuk kedua kalinya, kemudian bercerai, maka
mereka dilarang menikah lagi.
|
|
|
11
|
Jangka waktu tunggu
(1) Wanita
yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Jangka waktu diatur dalam PP. Menurut PP
9/1975, waktu tersebut ditentukan:
a. apabila putus karena kematian à 130 hari sejak kematian suami.
b. apabila putus karena perceraian à 90 hari sejak jatuhnya putusan pengadilan.
c. apabila putus saat hamil à sampai melahirkan.
B.W. menentukan waktu tunggu 300 hari semenjak
perkawinan terakhir dibubarkan (pasal 34). Ketentuan tersebut untuk meng-hindari
confucio sanguinis (kekacauan darah).
|
|
|
12
|
Tata cara perkawinan diatur oleh pasal 10-11 dalam
PP 9/1975
|
III
|
Pencegahan Perkawinan
|
13
|
Pencegahan perkawinan dilakukan apabila ada pihak
yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
|
|
|
14
|
(1) Yang dapat mencegah perkawinan yaitu para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali
nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
(2) Yang disebutkan tersebut juga berhak mencegah
apabila salah satu calon mempelai berada di bawah pengampuan di mana keadaan
itu akan membawa kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya.
|
|
|
15
|
Pihak lain yang dapat mencegah perkawinan adalah
pihak yang suami atau istrinya hendak menikah lagi, kecuali yang tersebut
dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4.
|
|
|
16
|
Pasal ini mengatur tentang pejabat yang bertugas
mencegah perkawinan
|
|
|
17
|
(1) Pencegahan
perkawinan diajukan pada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan
akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat
perkawinan.
(2) Pegawai
pencatat perkawinan memberi-tahukan perihal pencegahan perkawinan kepada
calon mempelai.
|
|
|
18
|
Pencegahan perkawinan dapat dicabut :
• bila sudah ada putusan, dengan putusan
Pengadilan
• bila masih dalam proses, dengan menarik
kembali permohonan pada Pengaditan
|
|
|
19
|
Bila pencegahan tidak dicabut, maka perkawinan tidak
dapat difangsungkan.
|
|
|
20
|
Peringatan bagi pegawai pencatat agar tidak membantu
berlangsungnya perkawinan bila pasal 7 ayat (1) dan pasal 8 - 12 tidak
dipenuhi, meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
|
|
|
21
|
(1) Ayat
ini memberikan kewajiban pada pegawai pencatat perkawinan untuk menolak
melangsungkan perkawinan bila terhadap perkawinan tersebut terdapat larangan.
(2) Berkaitan
dengan penolakan tersebut, pegawai pencatatan memberikan keterangan tertulis
mengenai penolakan beserta alasannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan
permohonan kepada Pengadilan.
(4) Permohonan
tersebut akan diperiksa dengan acara singkat.
(5) Jika
yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang, maka ketetapan tersebut hilang.
Para pihak dapat mengulangi pemberitahuan
mengenai maksud mereka untuk kawin.
|
|
|
Pecegahan dilakukan sebelum perkawinan terjadi untuk
menghindari perkawinan yang tidak sesuai dengan Undang-undang, agar tidak
terjadi adanya anak sumbang.
|
|
IV
|
Pembatalan Perkawinan
|
22
|
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
|
|
|
23
|
Yang dapat mengajukan
pembatalan perka-winan yaitu :
1. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke
atas dari suami atau istri
2. suami atau istri
3. pejabat yang berwenang hanya selama
perkawinan belum diputuskan
4. pejabat
seperti pada pasal 16 ayat (2) dan setiap orang yang mempunyai kepentingan
hukum secara langsung, tapi hanya setelah perkawinan itu putus.
|
|
|
24
|
Pihak lain yang dapat mengajukan pembatal-an
perkawinan adalah pihak yang suami atau istrinya tetah menikah lagi, kecuali
yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4.
|
|
|
25
|
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan pada
Pengadilan dalam daerah hukum mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat
tinggal kedua suami istri, suami atau istri.
|
|
|
26
|
Pasal ini mengatur mengenai alasan
lain pembatalan perkawinan, yaitu :
Perkawinan dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat
yang tidak berwenang, wali yang tidak sah, atau tanpa dihadiri 2 orang saksi.
Hak tersebut gugur apabila suami istri tersebut telah hidup bersama dan dapat
menunjukkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat yang tidak berwenang
dan perkawinan harus diperbarui supaya sah.
|
|
|
|
Alasan pembatatan lain yaitu bila saat perkawinan,
dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau bila terjadi salah
sangka mengenai diri suami atau istri. Untuk penggunaan hak ini ditentukan
waktu daluarsa 6 bulan.
|
|
|
28
|
(1) Batalnya dimulai saat keputusan pengadil-an
mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak dilangsungkan perkawinan
(2) Keputusan tersebut tidak berlaku surut
terhadap :
a. anak-anak yang lahir dari perkawinan
tersebut.
b. suami atau istri yang beritikad baik, kecuali
terhadap harta bersama, bila pembatalan berdasarkan atas adanya perkawinan
lain yang terdahulu.
c. orang ketiga di luar a dan b yang beritikad
baik, sebelum keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap.
|
Pencegahan perkawinan tidak memiliki akibat hukum,
sedangkan pembatalan memiliki akibat hukum.
|
|||
V
|
Perjanjian Perkawinan
|
29
|
(1) Sebelum
perkawinan dilangsungkan para pihak dapat mengadakan perjanjian tertulis
(perjanjian formal)
Dalam pasal 58 B.W. peranjian kawin tidak memberikan
hak untuk menuntut di hadapan Pengadiian kecuali jika mereka telah
memberitahu Catalan Sipil tentang rencana kawin dan telah diumumkan dalam
pengumuman kawin.
(2) Perjanjian
tersebut tidak boleh melanggar batas hukum, agama dan kesusilaan
(3) Perjanjian
berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
Perjanjian tersebut dapat diubah selama perkawinan
asal kedua pihak sepakat dan tidak merugikan pihak ketiga.
|
Perjanjian kawin berbeda dengan objek perjanjian
pada umumnya, seperti yang diatur dalam buku III B.W. Perjanjian kawin masuk
dalam ruang lingkup hukum keluarga, sedangkan perjanjian pada umumnya masuk
dalam hukum kekayaan. Perjanjian kawin menurut pasal 147 B.W harus dibuat
dengan akte notaris untuk keabsahan, mencegah perbuatan hukum yang
tergesa-gesa, kepastian hukum, sebagai alat bukti yang sah dan untuk mencegah
penyelundupan atas pasal 149 B.W. (bahwa setelah perkawinan, maka perjanjian
kawin tidak dapat diubah).
|
|||
VI
|
Hak dan Kewajiban Suami Istri
|
30
|
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk
menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
|
|
|
31
|
(1) menunjukkan
keseimbangan antara hak dan kedudukan suami dan istri
(2) masing-masing
berhak untuk melakukan perbuatan hukum
(3) Suami
adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga.
|
|||
|
|
32
|
Kewajiban suami istri untuk memiliki tempat kediaman
yang tetap
|
|||
|
|
33
|
Suami istri wajib saling mencintai, menghor-mati
setia dan memberi bantuan lahir & batin
|
|||
|
|
34
|
Kewajiban suami : melindungi
istrinya dan memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga sesuai kemampuan
Kewajiban istri : mengatur
urusan rumah tangga sebaik-baiknya
Jika suami atau istri lalai, dapat diajukan gugatan
ke Pengadilan
|
|||
VII
|
Harta Benda dalam Perkawinan
|
35
|
Harta bersama :
harta yang diperoleh selama
perkawinan dalam perkawin-an
Harta bawaan :
harta yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan yang berada di bawah penguasaan masing-masing,
kecuali ada kese-pakatan lain.
|
|||
|
|
Perbedaan prinsip tentang harta kekayaan sebelum
dengan sesudah perkawinan :
|
||||
|
|
|
UU No. 1 Tahun 1974
|
B.W.
|
|
|
|
|
Harta bawaan menjadi persatuan bulat, ke-cuali
diperjanjikan
|
Harta bawaan dalam penguasaan masing-masing pihak,
kecuali diperjanjikan
|
|||
|
|
|
||||
|
|
36
|
Tindakan atas harta bersama à berdasarkan perjanjian kedua belah pihak
Tindakan atas harta bawaan à masing-masing memiliki hak penuh
|
|||
|
|
37
|
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing
|
|||
VIII
|
Putusnya Perkawin-an serta akibatnya
|
38
|
Putusnya perceraian karena 3 hal, yaitu :
a. kematian
b. perceraian
c. keputusan
pengadilan
|
|||
|
|
39
|
(1) Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Pengadilan yang
bersangkutan terlebih dahulu harus berusaha mendamaikan kedua pihak.
(2) Untuk
bercerai harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak akan hidup
rukun sebagai suami istri.
(3) Tata
cara diatur dalam Bab V PP 9/1975.
|
|||
|
|
Alasan Perceraian :
1. zina,
pemabuk, pemadat, penjudi yang sukar disembuhkan
2. meninggalkan
pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
3. mendapat
hukuman penjara 5 tahun atau lebih
4. penganiayaan
berat
5. cacat
badan/sakit
6. perselisihan
dan pertengkaran
Perceraian dibedakan atas 2 macam :
|
||||
|
|
|
Cerai Talak
|
Cerai Gugat
|
|
|
|
|
Atas
permintaan suami yang beragama Islam
Caranya
dengan mengajukan permohonan
Hasil
akhirnya berupa penetapan
|
Atas
perminataan istri yang beragama Islam dan suatu atau istri yang bukan Islam
Caranya
dengan mengajukan gugatan
Untuk
istri Islam à Pengadilan Agama
Untuk
suami istri bukan Islam à Pengadilan Negeri
Hasil
akhirnya berupa vonis
|
|||
|
|
|
||||
|
|
40
|
Gugatan cerai diajukan ke Pengadilan dengan tata
cara seperti tercantum dalam Bab V PP 9/ 1975
|
|||
|
|
41
|
Akibat dari putusnya
perceraian adalah :
a. Bapak maupun ibu tetap berkewajiban
memelihara anak-anaknya, bila ada per-selisihan mengenai penguasaan anak akan
diputus oleh Pengadilan
|
|||
|
|
|
b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan anak. Bila bapak tidak mampu, Pengadilan dapat
memutus bahwa ibu ikut menanggung beban tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami
untuk memberi biaya hidup (atau kewajiban lain) untuk bekas istri.
|
||||
IX
|
Kedudukan Anak
|
42
|
Ö Anak sah à anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah
|
||||
|
|
43
|
Ö Anak luar kawin memiliki hubungan keper-dataan hanya dengan ibu
dan kerabat ibunya. Ibu secara otomatis sebagai ibunya.
Dalam B.W. ada 2 macam anak luar kawin, yaitu :
|
||||
|
|
|
Ibu tidak secara otomatis sebagai ibunya, jika ia
tidak mengakui anak luar kawin tersebut.
|
||||
|
|
44
|
(1) Suami dapat menyangkal sahnya anak yang
dilahirkan dalam perkawinan jika ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah
berzina dan anak itu akibat dari perzinaan itu. à pembuktian terbalik.
(2) Pengadilan dapat memberikan keputusan
mengenai sah atau tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Ö Anak zina adalah anak yang lahir dari perbuatan zina antara 2
orang, yang salah satu atau keduanya terikat perkawinan. Anak zina tidak
diakui hukum dan tidak mewaris.
|
||||
|
|
Ö Anak sumbang adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan dua
orang yang masih mempunyai hubungan darah, di mana hukum mereka melarang
mereka untuk kawin. Anak sumbang tidak diakui hukum dan tidak mewaris.
|
X
|
Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak
|
45
|
Orang tua wajib memelihara dan mendidik anaknya
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban itu terus berlaku
walau perkawinan orang tua putus.
|
|
|
46
|
Anak wajib menghormati dan mentaati orang tua.
Setelah dewasa, anak wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis
lurus ke atas sesuai kemampuannya.
|
|
|
B.W. mengatur bahwa berapapun usia anak, harus
menghormati orang tua. Orang tua wajib meme-lihara dan mendidik semua anak
mereka yang belum dewasa (pasal 298). Dalam pasal 104 pun diatur bahwa suami
istri terikat suatu perjanjian akan
memelihara dan mendidik anak mereka. Anak juga wajib memelihara orang tua
atau keluarganya apabila mereka dalam keadaan miskin.
|
|
|
|
47
|
Usia dewasa : 18 tahun
Anak yang belum dewasa atau belum kawin di bawah
kekuasaan orang tua (asal kekuasaan tersebut tidak dicabut) dan orang tua
mewakili perbuatan hukum anak tersebut.
B.W masih berlaku dalam hal Undang-undang dan PP
9/1975 tidak mengaturnya. Menurut B.W. kekuasaan orang tua adalah sepanjang
perkawinan bapak dan ibu. Yang melaksanakan adalah Bapak. Apabila keduanya
bercerai atau salah seorang meninggal, maka kekuasaan orang tua hapus. Anak
menjadi di bawah perwalian.
|
|
|
48
|
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18
tahun atau belum melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak
itu menghendakinya.
|
|
|
49
|
Alasan orang tua dapat dicabut
kekuasaannya atas anak :
a. sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya
b. berkelakuan sangat buruk
Walaupun dicabut kekuasaannya, tapi ayat 2-nya tetap
mewajibkan membiayai peme-liharaannya. Bila orang tua tidak mampu, maka
kekuasaan juga dapat berakhir (alasan pembebasan).
|
XI
|
Perwalian
|
50
|
(1) Anak
yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin yang tidak berada
di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian
itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
|
|
|
51
|
Untuk menjadi wali :
- dapat
ditunjuk oleh orang tua sebelum meninggal, dengan surat wasiat atau secara lisan di hadapan 2
saksi
- diambil
dari keluarga atau orang lain yang dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan
berkelakuan baik
Kewajiban wali terhadap anak yang berada di bawah
penguasaannya :
- mengurus
anak tersebut beserta harta bendanya
- menghormati
agama dan kepercayaan anak itu
- membuat
daftar harta benda anak waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan
yang terjadi pada harta benda tersebut
- bertanggung
jawab tentang harta benda anak serta kerugian yang timbul karena kesalahan
dan kelalaiannya
|
|
|
52
|
Larangan untuk wali sama dengan larangan orang tua
terhadap harta benda anak tersebut, yaitu dilarang memindah hak atau
menggadaikan barang-barang tetap milik anak tersebut, kecuali apabila
kepentingan anak tersebut menghendakinya.
|
|
|
53
|
Alasan wali dapat dicabut
kekuasaannya atas anak :
a. sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya
b. berkelakuan sangat buruk
Selanjutnya bila kekuasaan itu dicabut, maka
Pengadilan menunjuk orang lain sebagai wali.
|
|
|
54
|
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta
benda anak yang berada di bawah penguasaannya, atas tuntutan anak atau
keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat
diwajib-kan untuk mengganti kerugian tersebut.
|
XII
|
Ketentuan lain
- Pembuktian
asal-usul anak
|
55
|
Bukti asal-usul anak harus menggunakan akta otentik
yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. Bila akta tersebut tidak ada,
maka Pengadilan mengeluarkan penetapan setelah diadakan pemeriksaan dan
instansi pencatat kelahiran dalam wilayah pengadilan itu mengeluarkan akta
kelahiran.
|
|
- Perkawinan
di luar Indonesia
|
56
|
Perkawinan yang dilangsungkan di luar wilayah Indonesia
antara dua orang WNI atau WNI dengan WNA adalah sah apabila dilangsungkan
menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan tersebut
dilangsungkan. Dalam waktu 1 tahun setelah suami istri tersebut kembali ke Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus
didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
|
|
- Perkawinan
Campuran
|
57
|
Pengertian perkawinan campuran : perkawinan antara
WNI dengan WNA
|
|
|
58
|
Bagi mereka yang melakukan perkawinan campuran,
dapat memperoleh kewarga-negaraan suami atau istrinya dan kehilangan
kewarganegaraannya. Ketentuan ini diatur dalam undang-undang Kewarganegaraan
Republik Indonesia
yang berlaku.
|
|
|
59
|
(1) Kewarganegaraan
yang diperoleh akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum
yang berlaku, baik hukum publik maupun hukum perdata.
|
|
|
60
|
Untuk melangsungkan perkawinan campuran, harus
dibuktikan dengan surat
keterangan bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentu-kan oleh hukum
masing-masing pihak telah dipenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan menolak
untuk memberikan surat
keterangan itu, maka Pengadilan dengan tidak beracara memberi keputusan yang
tidak dapat dimintakan banding. Surat
keputusan itu tidak berlaku bila sudah lewat 6 bulan dan tidak dipergunakan.
|
|
|
61
|
Perkawinan campuran harus dicatat oleh pegawai yang
berwenang. Bila tidak ditunjukkan surat
keterangan yang dimaksud dalam pasal 60, maka mendapat hukuman kurungan
maksimal 1 bulan. Sedangkan bagi petugas pencatat yang mencatat walaupun surat keterangan belum
ditunjukkan mendapat hukuman kurungan maksimal 3 bulan dan dihukum jabatan.
|
|
|
62
|
Dalam perkawinan campuran, kedudukan anak diatur
sesuai dengan pasal 59 (1) Undang-undang ini.
|
|
Pengadilan
|
63
|
(1) Yang dimaksud dengan pengadilan dalam
Undang-undang ini ialah :
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama
Islam
b. Pengadilan Umum bagi yang lainnya.
(2) Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan
oleh Pengadilan Umum.
|
XIII
|
Ketentuan Peralihan
|
64
|
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang
dijalankan menurut peraturan yang lama adalah sah.
|
|
|
65
|
(Telah dijelaskan setelah uraian pasal 3)
|
XIV
|
Ketentuan Penutup
|
66
|
Ketentuan perkawinan yang tercantum dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen,
Peraturan Perkawinan Campuran dan peratur-an lain yang mengatur tentang
perkawinan, sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak
berlaku.
|
|
|
67
|
Mengatur tentang mulai berlakunya undang-undang dan
mengenai Peraturan Pemerintah.
|
Keadaan Tidak Hadir
Pasal
463 B.W. memberikan penjelasan bahwa ketidakhadiran seseorang harus memenuhi
unsur-unsur yang berlaku mutatis mutandis sebagai berikut :
1. meninggalkan tempat kediamannya
2. tanpa memberikan kuasa kepada orang lain untuk
mewakilinya
3. tidak menunjuk atau memberikan kuasa kepada
orang lain untuk mengurus kepentingannya
4. kuasa yang pernah diberikan telah gugur
5. jika timbul keadaan yang memaksa untuk
menanggulangi pengurusan harta bendanya secara keseluruhan atau sebagian
6. untuk mengangkat seorang wakil, harus diadakan
tindakan-tindakan hukum untuk mengisi kekosongan sebagai akibat ketidakhadiran
tersebut
7. mewakili dan mengurus kepentingan orang yang
tidak hadir, tidak hanya kepentingan pribadinya.
Akibat ketidakhadiran
dalam perkawinan :
1. jika salah satu pihak meninggalkan pihak yang
lain dengan iktikad buruk, tidak hadir di tempat kediaman selama 10 tahun tanpa
kabar berita, maka pihak yang ditinggal dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan untuk melakukan panggilan.
2. apabila setelah pemanggilan ketiga yang
bersangkutan tidak hadir, maka Pengadilan dapat mengizinkan pihak yang
ditinggalkan untuk menikah lagi.
3. bila kemudian setelah izin tersebut keluar
sementara perkawinan belum dilangsungkan, yang bersangkutan masih hidup dan
hadir, maka izin tersebut gugur karena hukum.
4. tetapi apabila perkawinan telah dilangsungkan,
maka perkawinan itu adalah sah dan yang bersangkutan diberi hak untuk menikah
dengan orang lain.
Pendewasaan
Hukum Indonesia tidak mengatur, namun
dalam B.W. pendewasaan itu diatur. Pendewasaan adalah suatu upaya hukum yang
digunakan untuk meniadakan keadaan minderjarigheid, baik untuk keseluruhannya
maupun untuk hat-hal tertentu. Perlunakan diperoleh dengan venia aetatis atau
surat-surat keterangan perlunakan yang meniadakan keadaan minderjarigheid untuk
keseluruhan yang diberikan Presiden setelah mendengar pendapat Mahkamah Agung
(pasal 419 dan 420 B.W.). Dengan cara ini, ada pembatasan bila minderjarig itu
hendak membebani benda-benda tidak bergerak, maka ia wajib meminta izin
Pengadilan Negeri setempat, setelah ada keterangan dari orang tua atau wali.
0 komentar