PROBLEMA UNDANG2 RUMAH SUSUN –MEDIA NOT_
September 19, 2012
Notaris harus makin
hati-hati dalam melaksanakan tugasnya karena resiko hukum menunggu jika lalai
atau kurang mengetahui aturan-aturan yang seharusnya diketahuinya. Dalam UU
Rumah Susun Nomor 20 tahun 2011, banyak aturan-aturan yang baru dan harus
diketahui notaris dalam membuat akta peralihan hak atau yang lainnya. Karena
bila timbul masalah hukum di kemudian hari akibat kurang dipenuhinya
persyaratan sesuai UU maka hal ini akan merugikan,
termasuk terhadap notaris sendiri. Notaris senior Winanto Wiryomartani menyampaikan hal ini saat seminar rumah susun dalam memberikan masukan kepada pemerintah untuk penyusunan peraturan pelaksanaan UU Nomor 20 tahun 2011..
termasuk terhadap notaris sendiri. Notaris senior Winanto Wiryomartani menyampaikan hal ini saat seminar rumah susun dalam memberikan masukan kepada pemerintah untuk penyusunan peraturan pelaksanaan UU Nomor 20 tahun 2011..
Seminar
rumah susun yang diselenggarakan Forum Kajian dan Konsultasi Pertanahan (FK2P)
beberapa waktu lalu di Jakarta itu akhirnya memang menghasilkan masukan berupa
rekomendasi sekaligus kritik tajam. Di dalam seminar yang membahas
Undang-undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun ini, menurut Ketua FK2P
Arry Supratno, S.H., Sp.N. bahwa masyarakat, khususnya notaris dan PPAT,
berkesempatan untuk memberikan masukan kepada pemerintah dalam penyusunan
peraturan pelaksanaannya. Sebab UU ini masih perlu masukan konstruktif seiring
dengan banyaknya kritik dari berbagai kalangan yang berkepentingan. Kritik yang
disampaikan masyarakat terhadap UU yang disahkan pada 10 November 2011 ini
meliputi masalah konsistensi dan ketidaksinkronan dalam konsep dan
peraturan-peraturan lainnya.
Dengan
mempelajari dan membandingkan UU yang lama dengan yang baru, serta
mempelajarinya dengan peraturan terkait maka akan merupakan modal berharga di
dalam praktek sehari-hari. Seperti kita ketahui masalah rumah susun menjadi
keniscayaan untuk dipelajari oleh notaris/ PPAT di kota-kota besar karena
mereka akan berhadapan dengan transaksi-transaksi berkenaan dengan rumah susun.
Selain itu, penting untuk mempelajari dengan cermat UU baru ini karena ada
hal-hal baru yang sama-sekali berbeda dengan peraturan sebelumnya.
Mengenai
masalah peraturan pelaksanaan UU ini, dalam sambutannya yang dibacakan oleh
Deputi Perumahan Formal Ir. Paul Marpaung, Menteri Perumahan Rakyat menyatakan
bahwa saat ini pemerintah sedang membahas RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah)
yang merupakan amanat UU Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun. Rancangan PP
itu adalah RPP Pembinaan Penyelenggaraan Rumah Susun, PP Penyelenggaraan Rumah
Susun, RPP Pengelolaan Rumah Susun, dan RPP Perhimpunan Pemilik, Penghuni
Satuan RumahSusun (P3SRS). Tujuan pemerintah untuk mempersiapkan RPP ini adalah
dalam rangka memperbaiki sistem yang sudah berjalan untuk memenuhi kebutuhan
rumah susun layak huni dan terjangkau. Rumah susun inidiharapkan dibangun
dengan lingkungan yang sehat, aman dan harmonis serta berkelanjutan. Rumah
susun itu nanti juga dibangun dengan sistem tatakelola terpadu.
Pelaksanaan
pendaftaran Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG)
dan sewa menyewa dilihat dari aspek pendaftaran tanah serta Perjanjian
Pengikatan Jual Beli menurut UU baru ini dengan syarat harus sudah terbangun
minimal 20 persen. Menurut pasal 97, setiap pelaku pembangunan rumah susun
komersial (developer - red) dilarang mengingkari kewajibannya untuk menyediakan
rumah umum sekurang-kurangnya 20 persen dari total luas lantai rumah susun
komersial yang dibangun.
Selain itu pelaku pembangunan bisa memasarkan dan melakukan perjanjian pengikatan sebelum pembangunan dilaksanakan jika sudah mengantongi kepastian peruntukan ruang, hak atas tanah, status penguasaan rumah susun, memiliki perizinan pembangunan rumah susun dan memiliki jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin. Bila belum memenuhi syarat ini, menurut pasal 98, developer dilarang membuat PPJB. Syarat itu bisa dilihat di pasal 43 UU Nomor 20 tahun 2011.
Selain itu pelaku pembangunan bisa memasarkan dan melakukan perjanjian pengikatan sebelum pembangunan dilaksanakan jika sudah mengantongi kepastian peruntukan ruang, hak atas tanah, status penguasaan rumah susun, memiliki perizinan pembangunan rumah susun dan memiliki jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin. Bila belum memenuhi syarat ini, menurut pasal 98, developer dilarang membuat PPJB. Syarat itu bisa dilihat di pasal 43 UU Nomor 20 tahun 2011.
Salah
seorang pembicara, Gurubesar Hukum Pertanahan Prof. Maria S. W. Soemardjono,
S.H., M.C.L., M.P.A., melihat kerancuan dana masalah hukum baru dengan
disahkannya Undang-undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun. Kerancuan
itu setidaknya ada 3, menurutnya, yaitu pertama meliputi masalah definisi tanah
sewa untuk bangunan dalam konteks tanah bersama di dalam pasal 1 angka 4.
Kedua, yaitu konstruksi hukum pembangunanumahsusun di atas tanah berstatus
barang milik negara (BMN) atau barang milik daerah (BMD). Sedangkan kerancuan
ketiga adalah mengenai kompilasi hukum pembangunan rumah susun di atas tanah
hak guna bangunan (HGB) atau hak pakai (HP) di atas tanah hak pengelolaan (HPL)
dalam konteks UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP Nomor
6 tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/ BMD dan perubahannya, yaitu PP Nomor
38tahun 2008.
Salah
satu kerancuan yang terjadi di dalam pasal 1 adalah masalah definisi tanah sewa
untuk bangunan dalam konteks tanah bersama. Menurut UU ini di pasal 1 angka 4
disebutkan bahwa, " Tanah bersama adalah sebidang tanah hak atau tanah
sewa untuk bangunan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di
atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin
mendirikan bangunan."
Menurut Maria, UU tidak memberikan interprestasi otentik tentang definisi "tanah sewa untuk bangunan", tapi pengertian ini secara tidak langsung bisa dilihat di pasal 18 sampai dengan pasal 22. Menurutnya, istilah "tanah sewa untuk bangunan" diperkenalkan karena adanya kebutuhan praktis saja, bukan didasarkan pada konsep yang ada.
Maria melanjutkan, konsep "tanah sewa untuk bangunan" di UU ini jelas tidak dimaksudkan sebagai tanah "hak sewa untuk bangunan" (HSUB) seperti yang diatur selama ini di UUPA di pasal 44. Sebab tanah sewa menurut UUPA ini hanya bisa terjadi di atas tanah hak milik dan belum ada peraturan pelaksanaannya.
Menurut Maria, UU tidak memberikan interprestasi otentik tentang definisi "tanah sewa untuk bangunan", tapi pengertian ini secara tidak langsung bisa dilihat di pasal 18 sampai dengan pasal 22. Menurutnya, istilah "tanah sewa untuk bangunan" diperkenalkan karena adanya kebutuhan praktis saja, bukan didasarkan pada konsep yang ada.
Maria melanjutkan, konsep "tanah sewa untuk bangunan" di UU ini jelas tidak dimaksudkan sebagai tanah "hak sewa untuk bangunan" (HSUB) seperti yang diatur selama ini di UUPA di pasal 44. Sebab tanah sewa menurut UUPA ini hanya bisa terjadi di atas tanah hak milik dan belum ada peraturan pelaksanaannya.
Maria
mengingatkan agar masyarakat harus memahami adalah bahwa "tanah sewa untuk
bangunan" dikaitkan dengan pengertian "tanah bersama"
merupakan tanah bersama yang dapat dipunyai oleh pemegang atau pemilik
hak milik satuan rumah susun (HMSRS) yang tanahnya berstatus hak milik, hak
guna bangunan atau hak pakai. Artinya, menurutnya, rumah susun harus
berdiri di atas "tanah hak". "Tanah hak" ini adalah tanah
yang dilekati dengan hak atas
tanah
menurut UUUPA.
Notaris senior Winanto Wiryomartani, S.H., M.Hum. menyoroti masalah sertifikat hak miliki (SHM) satuan rumah susun sebagai tanda bukti kepemilikan atas satuan rumah susun di atas tanah hak milik (HM), hak guna bangunan (HGB), hak pakai (HP) di atas tanah negara, serta hak guna bangunan/ hak pakai di atas tanah pengelolaan (HPL). Menurut pasal 17 butir C dalam UU ini disebutkan bahwa HBG/ HP di atas tanah HPL sebaiknya di sertifikat disebut dengan jelas mengenai status HGB atau HP tersebut berdiri di atas tanah HPL. Sehingga masyarakat, termasuk bank, bisa tahu sejak awal status haknya jika akan memberikan kredit dengan agunan sertifikat hak rumah susun ini, yaitu HGB/ HP rumah susun ini berdiri di atas tanah hak pengelolaan. Masalah ini harus dijelaskan karena setiap pengalihan atau pembebanan hak tanah seperti ini haru seijin pemegang hak pengelolaan.
Notaris senior Winanto Wiryomartani, S.H., M.Hum. menyoroti masalah sertifikat hak miliki (SHM) satuan rumah susun sebagai tanda bukti kepemilikan atas satuan rumah susun di atas tanah hak milik (HM), hak guna bangunan (HGB), hak pakai (HP) di atas tanah negara, serta hak guna bangunan/ hak pakai di atas tanah pengelolaan (HPL). Menurut pasal 17 butir C dalam UU ini disebutkan bahwa HBG/ HP di atas tanah HPL sebaiknya di sertifikat disebut dengan jelas mengenai status HGB atau HP tersebut berdiri di atas tanah HPL. Sehingga masyarakat, termasuk bank, bisa tahu sejak awal status haknya jika akan memberikan kredit dengan agunan sertifikat hak rumah susun ini, yaitu HGB/ HP rumah susun ini berdiri di atas tanah hak pengelolaan. Masalah ini harus dijelaskan karena setiap pengalihan atau pembebanan hak tanah seperti ini haru seijin pemegang hak pengelolaan.
Selain
masalah sertifikat hak ini, Winanto juga mengingatkan agar dibuat suatu model
akta pemisahan yang bersifat baku untuk bagian-bagian rumah susun. Dalam
masalah bagian-bagian rumah susun itu, menurut pasal 25 diatur bahwa pelaku
pembangunan harus memisahkan rumah susun atau satuan rumah susun,
bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Untuk pemisahan rumah susun,
wajib dituangkan dalam bentuk gambar dan uraian, serta dituangkan dalam
bentuk akta pemisahan yang disahkan bupati atau walikota.
Selain itu ada beberapa hal yang dikritisi oleh Winanto, misalnya dalam hal rumah susun dibangun di atas tanah sewa yang sebaiknya perjanjiannya dilakukan secara notariil, dan juga masalah kewajiban notaris dalam membuat perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) yang harus melalui persyaratan-persyaratan.
Karena terdapat hal-hal baru didalam UU ini, Winanto berharap para notaris berhati-hati dan cermat dengan mempelajari baik-baik UU ini beserta peraturan terkait agar tidak keliru dan fatal akibatnya. Di dalam UU ini para notaris dituntut cermat dan hati-hati agar nantinya tidak dibawa-bawa bila dalam prosesperalihan hak atas rumah susun yang ditanganinya ternyata bermasalah sebagai akibat kekurangtahuan si notaris tentang aturan baru ini. Misalnya, kata Winanto, dalam melaksanakan PPJB, si notaris harus tahu betul masalah status kepemilikan tanah rumah susun, IMB-nya, ketersediaan,sarana, prasarana dan utilitas umum, dan juga masalah syarat keterbangunan sedikitnya 20 persen seperti yang diperintahkan UU. Bila hal ternyata nantinya timbul masalah hukum, dan ini disebabkan karena kekurangtahuan si notaris dalam masalah persyaratan ini maka akan menjadi masalah besar baginya.
Selain itu ada beberapa hal yang dikritisi oleh Winanto, misalnya dalam hal rumah susun dibangun di atas tanah sewa yang sebaiknya perjanjiannya dilakukan secara notariil, dan juga masalah kewajiban notaris dalam membuat perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) yang harus melalui persyaratan-persyaratan.
Karena terdapat hal-hal baru didalam UU ini, Winanto berharap para notaris berhati-hati dan cermat dengan mempelajari baik-baik UU ini beserta peraturan terkait agar tidak keliru dan fatal akibatnya. Di dalam UU ini para notaris dituntut cermat dan hati-hati agar nantinya tidak dibawa-bawa bila dalam prosesperalihan hak atas rumah susun yang ditanganinya ternyata bermasalah sebagai akibat kekurangtahuan si notaris tentang aturan baru ini. Misalnya, kata Winanto, dalam melaksanakan PPJB, si notaris harus tahu betul masalah status kepemilikan tanah rumah susun, IMB-nya, ketersediaan,sarana, prasarana dan utilitas umum, dan juga masalah syarat keterbangunan sedikitnya 20 persen seperti yang diperintahkan UU. Bila hal ternyata nantinya timbul masalah hukum, dan ini disebabkan karena kekurangtahuan si notaris dalam masalah persyaratan ini maka akan menjadi masalah besar baginya.
0 komentar