Dalam rubrik Nasional yang menguraikan PPAT Sejarah, Tugas dan Kewenangannya (Renvoi, nomor 8.44.IV, tanggal 3 Januari 2007) yang merupakan rangkaian dari pendapat Prof. Boedi Harsono, S.H. salah seorang pakar Hukum Agraria Indonesia, yang dalam kesimpulannya bahwa akta PPAT memenuhi syarat sebagai akta otentik yang ditentukan dalam Pasal 1868 BW.
Saya ingin mengkaji kembali apakah betul akta PPAT telah memenuhi syarat sebagai akta otentik berdasarkan ketentuan Pasal 1868 BW termasuk akta otentik?? Untuk menentukan apakah akta PPAT akta otentik atau bukan akan mengunakan parameter ketentuan Pasal 1868 BW merupakan sumber untuk otensitas akta yang dibuat oleh Pejabat Umum (Notaris atau PPAT), dan Undang-undang nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Menurut Pasal 1868 BW, bahwa : eene authentieke acte is de zoodanige welke in den wettelijke vorm is verleden, door of ten overstaan van openbare ambtenaren die daartoe bevoegd zijn ter plaatse alwaar zulks is geschied.
Dengan demikian ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi untuk dikategorikan sebagai akta otentik sebagai berikut:
akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum.
akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (wet), Pejabat Umum oleh? atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Akta yang dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum. Akta yang dibuat oleh (door) Pejabat Umum, disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian dari Pejabat Umum yang dilihat dan disaksikan Pejabat Umum sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta otentik. Dan Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Pejabat Umum, dalam praktek disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Pejabat Umum. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta otentik.Pembuatan akta, baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta otentik, yaitu harus ada keinginan atu kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Pejabat Umum tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Pejabat Umum dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Pejabat Umum diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta otentik, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Pejabat Umum atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Pejabat Umum.Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta otentik, dalam hal ini tidak berarti Pejabat Umum sebagai pelaku dari akta tersebut, Pejabat Umum tetap berada di luar para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan Pejabat Umum seperti itu, sehingga jika suatu akta otentik dipermasalahkan, maka tetap kedudukan Pejabat Umum bukan sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai Tergugat atau Turut Tergugat dalam perkara perdata. Penempatan Pejabat Umum sebagai pihak yang turut serta atau membantu para pihak dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan Pejabat Umum sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum, maka hal tersebut telah mencederai akta otentik dan institusi Pejabat Umum yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta otentik dan Pejabat Umum di Indonesia. Dalam tataran hukum yang benar mengenai akta otentik, jika suatu akta otentik dipermasalahkan oleh para pihak, maka : (1). para pihak datang kembali ke Pejabat Umum untuk membuat pembatalan atas tersebut, dan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut. (2). jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta otentik menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta otentik yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan? Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hakim.Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat Pejabat Umum, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada Pejabat Umum yang bersangkutan, dengan kewajiban penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta otentik tersebut. Dalam kedua posisi tersebut, penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Pejabat Umum, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta otentik.
Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (wet). Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum dalam bentuk yang
Pejabat umum oleh? atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. Wewenang Notaris dan PPAT meliputi 4 (empat) hal, yaitu 1). Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu; Wewenang Notaris dan PPAT dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga berwenang membuatnya disamping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang Notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas, misalnya PPAT mempunyai wewenang terbatas, yaitu hanya membuat 8 (delapan) jenis akta saja. (2). Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Pejabat Umum ? Notaris dan PPAT harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Mengenai orang dan untuk siapa akta dibuat, harus ada keterkaitan yang jelas, misalnya jika akan dibuat akta pengikatan jual beli yang diikuti dengan akta kuasa untuk menjual, bahwa pihak yang akan menjual mempunyai wewenang untuk menjualnya kepada siapapun. Untuk mengetahui ada keterkaitan semacam itu, sudah tentu tentu Notaris akan melihat (asli
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.Pejabat Umum? Notaris dan PPAT harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara waktu. Notaris dan PPAT yang sedang cuti atau diberhentikan sementara waktu tidak mempunyai kewenangan untuk membuat akta. Khusus untuk Notaris, dalam Pasal 1 angka 2 UUJN dikenal adanya Pejabat Sementara Notaris, yaitu seseorang yang untuk sementara waktu menjabat sebagai Notaris untuk menjalankan jabatan Notaris yang meninggal dunia, diberhentikan, atau diberhentikan sementara. Ketentuan pasal ini rancu, bahwa seorang Notaris melaksanakan tugas jabatannya, karena masih ada wewenang yang melekat pada dirinya, dengan dengan karena masih ada wewenang, maka Notaris yang bersangkutan dapat mengangkat Notaris Pengganti (Pasal 1 angka 3 UUJN), sedangkan Notaris yang meninggal dunia, diberhentikan atau diberhentikan sementara waktu sudah tidak ada wewenang yang melekat pada dirinya, sehingga tidak perlua adanya Pejabat Sementara Notaris. Untuk Notaris yang meninggal dunia atau diberhentikan seharusnya protokol tersebut langsung diserahkan kepada Notaris lain untuk memegang protokolnya, dan untuk Notaris yang diberhentikan sementara, memang yang bersangkutan sedang tidak mempunyai kewenangan untuk sementara waktu, yang suatu saat dapat diangkat kembali yang sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUJN.
Berdasarkan uraian di atas, maka akta Pejabat Umum ? Notaris telah memenuhi syarat sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 1868 BW, sehingga akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sedangkan akta Pejabat Umum ? PPAT tidak memenuhi syarat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1868 KUHPerdata, khususnya akta PPAT dibuat tidak berdasarkan Undang-undang, tapi hanya berupa aturan hukum setingkat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri.
Dengan demikian akta PPAT bukan sebagai akta otentik, tapi hanya perjanjian biasa setingkat dengan akta dibawah tangan, dari segi fungsi hanya mempunyai pembuktian dengan kualifikasi sebagai surat di bawah tangan, yang penilaian pembuktiannya (jika bermasalah) diserahkan kepada hakim, jika hal tersebut diperiksa atau menjadi objek gugatan di pengadilan negeri. Alasan lain bahwa akta PPAT bukan akta otentik, karena para PPAT hanya mengisi formulir/blangko akta (to fill) yang telah disediakan oleh pihak lain, bukan membuat (to make) akta.Berdasarkan aturan hukum yang terakhir tersebut, telah membuka mata kita sebagai PPAT, ternyata secara kelembagaan, dalam hal ini PPAT dan akta PPAT belum mempunyai kedudukan hukum yang kuat, oleh karena itu, jika memang lembaga PPAT masih tetap dipertahankan sebagai bagian dari sistem hukum nasional, (artinya kewenangan PPAT tidak akan diambil alih oleh Notaris berdasarkan Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN), maka untuk segera dibuat Undang-undang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.